Sasa kembali memutar tubuhnya, menggerakkannya maju mundur bagai orang bercinta di ranjang. Sementara dua puluh empat orang lainnya masih saja berseru-seru kegirangan. “Hahaha… Huoooo… Yihaaa, goyaaang, Sasa!”. Tepuk tangan begitu riuh, lebih ramai dari biasanya. Terutama setelah absen penampilannya kemarin karena kedatangan temannya dari Malang.

Dari awal kepala rumah sakit melarang kedatangan siapapun selain Bapak, Ibu dan adiknya, Melati. Akibat peristiwa kedatangan orang dari masa lalunya itulah menjadi awal perkenalan kami. Kusodorkan tangan dengan gemetar. Sasa adalah pasien baru di sini, tapi siapa tak mengenalnya. Ia waras tapi tak waras. Sebagian dirinya terjebak dalam lubang hitam di kepalanya. Sesekali lubang itu memuntahkan isinya keluar, membuatnya kembali berteriak, meloncat-loncat di kasur atau mengacungkan gagang sapu yang diteriakkannya sebagai parang.

Sebelumnya Sasa mengenakan piama, kini ia melepasnya menjelang sore. Menggantinya dengan terusan pendek merah yang gemerlap ditimpa sinar lampu atau kemben ungu dan rok mininya yang berwarna oranye. Pada akhir penampilannya di atas panggung ia akan melepas semua, menyisakan BH dan celana dalam hitam sambil terus menari-nari.  Seperti yang kini ia lakukan.

Aku membeku menyaksikan penampilannya. Perawat laki-laki yang tadi mengajakku berbincang masih tertawa geli. Menertawakan orang gila, atau kami yang gila dan mereka yang sesungguhnya waras.

“Penampilanmu tadi luar biasa sekali, Sasa”, ujarku sambil melangkah lebih lebar agar sejajar dengannya. Ia menyeka keringatnya dan menoleh. “Maksudmu?”. Ia mengernyitkan dahinya. “Iya, kamu cantik sekali dengan baju ungu dan rok oranye itu”. Ia tersenyum. Matanya tak lagi merah. Aku membantunya mengenakan piama kembali.

*

Ini hari kedua kami berkenalan, aku duduk menemaninya di taman. Ia senang melamun di bangku dengan cat berwarna hijau bola tenis. “Sasa belajar menyanyi di mana?”, tanyaku perlahan. Ia menjawab bahwa Mbak Minah dulu meminjaminya radio tape yang dapat disetel lagu dangdut kapan pun ia mau. Mengingatnya dengan baik dalam otak dan hingga kini melekat dalam ingatannya. Kutaksir raut wajah dan perawakannya, Sasa pastilah berasal dari keluarga berada. Sampai kemudian ia mengatakan bahwa ibunya adalah dokter bedah dan ayahnya seorang pengacara. Kelihatannya ia menyukai caraku memperlakukannya. Semua pertanyaanku dijawab seperti laiknya seorang teman.

Aku mengantarnya ke kamar saat matahari menanjak naik. Ia kelihatan lebih santai dan banyak tersenyum sambil mengangkat tangan pada teman yang ditemuinya di koridor untuk menyapa.

Sore harinya ia berteriak-teriak memanggil namaku. Aku tersengal sampai ke kamarnya sambil menyeka pelipis yang berkeringat. “Tolong pilihkan baju untuk konserku nanti malam”, senyumnya lebar. Konser, demikian ia menyebutnya. Telunjukku mengarah pada terusan merah gemerlapnya, memangnya dia punya berapa baju, gumamku sendirian. Sasa tak mau rambut pendeknya, ia membencinya sambil menjambak-jambak ujungnya. Ia juga menginginkan sepatu merah dan silver untuk konsernya. Kukatakan nanti akan disediakan. Kami harus menelepon ibunya dulu. “Pilihanmu bagus, Masita. Ini akan menjadi konser yang menakjubkan karena aku akan menyanyikan lagu baru”, wajahnya antusias.

Tak lama kemudian ia sudah menghambur ke tengah lapangan dengan baju merah, sandal jepit dan rambut pendeknya. “Konser Sasa akan segera dimulai”, lengkingnya. Tak lama para penghuni bangsal menghambur keluar dan tertawa senang. Aku berdiri di tepi koridor yang memisahkannya dengan lapangan luas.

Benar saja, Sasa menari lebih lincah dari biasanya. Liukan tubuhnya seperti naga putih. Beberapa lagu ia nyanyikan, termasuk lagu yang dikatakannya baru. Belajar darimana dia. Semua penonton ikut bergoyang, Sasa menari di atas meja yang memang disiapkan untuknya. Malam menanjak naik, ia seperti tak kehabisan tenaga. Terus dan terus saja menyanyi sambil menari. Tak ada musik, semua terhipnotis dengan suara dan tubuhnya. Tiba-tiba ia berhenti dan duduk di tepi meja, “aku capek”, ujarnya. Penonton serentak protes, “Huuuuu.. Bagaimana sih”. “Nggak seru!”. Lapangan sepi, tersisa satu orang, Banua namanya. Kulihat mereka sering bercakap-cakap dan cukup akrab.

“Jadi, darimana kau belajar lagu baru itu Sasa?”.

“Itu lagu lama sih sebenarnya, cuma aku nyanyikan di panggung besar dulu”, jawabnya sambil mengayunkan kaki ke kanan kiri. Kusodorkan segelas teh hangat dan kudapan dalam piring kecil. Kami mengobrol sampai malam. Aku tak menyangka bahwa ia bisa masuk rumah sakit jiwa ini. Ia paling waras diantara yang lain. Semenjak perkenalan kami tak pernah sedikitpun mengamuk atau mengacungkan gagang sapu sambil melotot. Tangannya bergerak kesana kemari ketika bicara, tertawa riang dan sesekali menatapku. Manalah mungkin ia gila, Sasa cuma terjebak dengan masa lalunya.

“Jangan-jangan dia jatuh cinta sama bu dokter”, ujar Nani, perawat senior yang kuceritakan kondisi Sasa.

“Ah kamu ini”, aku berlalu setelah mengambil stetoskop.

*

“Aku adalah dua di dalam satu”, suaranya seperti tercekat di kerongkongan. Kemudian matanya memerah, menyusul hidungnya dan setitik air mata jatuh. Kuusap bahunya perlahan.

“Pada saat ini adalah kematianku yang kedua, Masita”, lanjutnya sedih.

Aku menarik napas panjang, kita tak pernah dapat memilih dua. Masyarakat tak pernah menerima dua pilihan. Kukatakan hal itu padanya perlahan, aku takut ia bertambah sedih. Hilang sudah binar di matanya tempo hari, kupeluk bahunya. Kami saling diam, hanya desau daun akasia bergesekan dengan daun lainnya. Disaat seperti ini Sasa tak boleh sendirian, kepala rumah sakit mengingatkanku berkali-kali. Lubang hitam dalam kepalanya bisa memuntahkan isinya yang busuk sewaktu-waktu. Hanya Sasa yang memiliki dokter pribadi yang mengikutinya, penghuni lain dibiarkan sendirian atau berkumpul dengan sesama temannya. Sasa yang penyendiri, ia hanya berteman dengan Banua dan aku.

Seorang wanita separuh baya dengan wajah keibuan duduk menunggu di tepi ranjang ketika aku mengantarnya ke kamar. Kuperkenalkan diri, ia lega mengatakan bahwa Sasa kini didampingi. Sebuah kantong plastik berisi wig berambut panjang, dua pasang sepatu dan dua set baju diberikannya padanya. Mata Sasa berbinar-binar menatap isinya. Ia menuju lemari di sudut ruangan kemudian mengambil tas kecil yang berisi lipstick, bedak dan pemerah pipi. Ia mencoba satu persatu barang-barang barunya kemudian bercermin sambil memutar tubuhnya. Kami tersenyum menyaksikan wajahnya yang sumringah, berbeda dari setengah jam yang lalu.

*

Pagi ini tak kujumpai ia di kamarnya, di toilet pun kosong, begitu juga di bangku taman kesukaannya. Aku mulai panik, bertanya pada para perawat, dokter, semua mengangkat bahu. Seorang penghuni rumah sakit bernama Seno memberitahu sambil tertawa berderai-derai bahwa Sasa ada di kamar Banua. Di sini orang bisa saja mengatakan hal yang serius sambil tertawa riang, atau sebaliknya.

Kutarik napas lega, Sasa sedang duduk bercengkrama dengan Banua. Ia terlihat lebih rapi, rambutnya disisir ke belakang dan samar tercium wangi sabun mandi. Mereka tersenyum melihatku datang. Kukatakan hari ini absen menemaninya, akan ada kepala perawat yang bertugas menggantikanku.

 “Kau hendak kemana, Masita?”.

“Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan di luar rumah sakit, besok aku sudah kembali kok”. Matanya mengikutiku melangkah keluar, bias kecewa sedikit terlihat di wajahnya.

*

Pagi hujan rintik-rintik, Pak Parmin buru-buru mengangkat plastik penutup becaknya dan aku turun sambil menaungi kepala dengan tas hitam. Kusodorkan uang dua puluh ribu rupiah, ia bergegas mengambil kembalian dari dompet hitamnya yang lusuh dan kempes. Beberapa lembar lima ribuan terselip, diberikannya dua padaku. Kuberikan bungkusan hitam berisi brownies cokelat, “ini untuk Budi ya, Pak”. Ia tersenyum, mengucapkan terima kasih sambil menganggukkan kepalanya.

Rumah sakit sepi, pasti mereka sedang berkumpul di ruang makan untuk sarapan pagi. Langkahku bergema di koridor depan. Kabut masih sedikit menggantung di udara, kurapatkan jaket sambil menggidikkan bahu kedinginan.

Di kanan koridor ramai berkumpul para perawat berbaju putih dan orang-orang berpiama, menyusul kemudian dokter yang tergopoh membawa kotak obat dan stetoskop yang menggantung dibawa derap kaki memburu. Semua menuju ke … kamar Sasa. Kutinggalkan tas besarku dan berlari sekencang-kencangnya. Pintu kamar itu dikerumuni banyak orang, sulit menyeruak diantaranya. Mulutku setengah ternganga melihat seseorang bersimbah darah di lantai. Celana piamanya berlumuran darah, menyusul kemudian lengan kirinya juga. Sebuah pisau dan silet tergeletak di kiri kanannya. Wajah Sasa membiru dan bisu. “Ia melihatmu dijemput laki-laki kemarin”, Banua mengejutkanku dengan suaranya. Selembar kertas kutemukan di pinggir lemari, lusuh dan banyak bercak seperti terkena tetesan air.

Masita, kau bilang masyarakat tak menerima dua. Mereka mau satu. Maka inilah aku, aku memilih untuk menjadi Sasa. Bukan Sasana.

 “Sasana memilih menjadi Sasa. Oleh sebab itu ia memotong kelaminnya sendiri dan pergi menjadi Sasa selamanya. Dengan menjadi Sasa, ia tak perlu menyukaimu Masita”, Banua melanjutkan bicaranya dengan pelan.

 

– Terinspirasi oleh novel Okky Madasari berjudul Pasung Jiwa-