Jakarta, 26 September 2010

Sayang, inilah surat yang sengaja kutulis untukmu. Maaf tak bisa kukatakan langsung, aku takut kehilangan cintamu kali ini. Sekali lagi maafkan aku sayang, aku telah melakukannya. Beberapa kali kulakukan dengan laki-laki yang berbeda pula. Aku tak tahu mengapa bisa kulakukan hal ini. Selingkuh! Hal yang kubenci dalam membina hubungan, tapi mengapa malah menjebak diri dengan banyak laki-laki dan aku menikmatinya sampai kemudian penyesalan itu datang dan aku tak mampu mengucap sepatah kata maaf pun padamu. Aku tak pernah menuntut apapun darimu, tak pernah sedikitpun. Saat aku sangat ingin meminta sesuatu itu, kau tak pernah mampu berikan. Aku tahu itu. Tak apa. Ah entahlah, kalau tak apa…mengapa aku melakukannya.

Pertanyaan itu tak pernah bisa kujawab. Aku mencintaimu, tapi tak pernah bisa berhenti mencintai lelaki lain. Biarlah kalimat “kau jahat” melekat padaku. Sejujurnya kukatakan, perselingkuhan itu kulakukan tiga bulan sejak kau mengatakan cintamu padaku. Tak pernah bisa juga kutolak pesona lelaki lain yang singgah di hidupku. Sayang, tahukah kau…aku tak pernah menyesal melakukan perselingkuhan sampai aku menulis maafku di surat ini. Aku menikmati kebersamaan dengan mereka termasuk juga menikmati ketika mereka mencuri bibirku dan menelusupkan tangannya di balik kemeja kerjaku. Aku menikmatinya.. maafkan aku. Tidak tidak, jangan kau anggap aku telah tidur dengan mereka. Tidak. Dan aku masih perawan, seperti yang kau inginkan sampai kelak kita menikah.

Sayang, maafkan aku. Tahukah kau, cairan asin bergulir dari ujung mataku. Aku menyesal kini. Apalagi kau tak tahu sama sekali dan tetap mencintaiku. Kau juga tetap mengucap kalimat “aku mencintaimu” setiap hari. Ah, betapa gumpalan di dada itu sangat ingin membuncah karena penyesalanku.

Sayang, pertanyaan besarku mengenai bagaimana rasanya mendua-menigakan-mengempatkan atau bahkan melimakan telah mampu kujawab sudah. Tak akan kukambinghitamkan siapapun, termasuk bapak yang pernah kulihat membonceng perempuan lain di depan mataku dan kini pergi memilih orang lain selain ibu di hidupnya. Tidak juga kau sayang. Ketidakmampuanmu menggenggamku pun tak pernah bisa kusalahkan. Tidak juga Tuhan yang membiarkan aku memiliki hidup sedemikian aneh dan membingungkan ini. Aku selalu resah dan memilih mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan hidupku sendiri.

Satu hal yang kau harus tahu, aku selalu mencintaimu…. Merpatimu ini akan selalu pulang ke rumah. Dan rumah itu adalah kau. Maka kini, dapatkah kata maaf itu aku dapat darimu usai membaca suratku?