Hujan, Petrichor dan Kamu Minggu, Okt 30 2011 


Aku terlalu sedih untuk membalas pesanmu. Maka aku di sini, tertidur dengan pesan yang kuhapus, langit hitam bergemuruh dan genangan air mata rindu. Aku tahu, ini sampah buatmu. Begitu juga perasaan yang kutuangkan dalam pagutan kita tadi siang. Setelah berminggu-minggu kurindukan punggung yang berlari ke arahku, mimpi-mimpi buruk karena terlalu sering memikirkanmu dan ragu yang terus-terusan kubantah.

Kepalaku pusing.

Hujan sudah turun, petrichor berubah menjadi wangi kenangan. Aku tak suka.

Rumput yang bergoyang dan basah kehujanan seolah mengejekku. Aku tak suka.

Beberapa bunga mencoba membujuk sedihku dengan warnanya, tak berguna.

Dan aku masih di sini, kamar gelap yang memanjangkan sedih dari negeri nyata ke alam bunga tidur.

Kamar Oranye, 30 Oktober 2011 2:00 PM

rindu. senyap. lalu Kamis, Okt 20 2011 


aku cuma sedang bersabar menunggu takdir mengatupkan kedua tangannya. sementara itu kaki-kaki rindu berdiri dengan tegak. tak peduli dan sombong. seolah hanya dirinya yang hidup di balik sosok ringkihku.

pelupukku telah menjadi telaga, asin tanpa gemuruh ombak. kerap kali hanya kulihat kekunang datang dan mengajak bulan bergaun perak untuk berdansa . kemudian datang angin yang mendesir senyap, ah tak ada juga kabar darimu. menunggu rindu pulang tak pernah sedemikian sepi.

Mereka Bilang Kau Selingkuhanku Rabu, Okt 19 2011 


Rona, sudah tidurkah?
Aku tak bisa tidur cepat seperti dulu, waktu kita bergandengan tangan menyusuri sore dengan kaus kutang dan celana dalam saja. Sementara poni dan kuncir kuda-ku bergoyang-goyang, kau berjalan di sisiku dengan sandal yang kebesaran.

Malam ini, bolehkah kau datang sebentaaaar saja. Pasti kau tahu bagaimana nada memohon itu kuucapkan kan? Aku sudah menghadap dinding oranye kamarku sedari tadi. Menunggu lenganmu yang tak begitu kekar menarikku ke dalam. Kemudian kau akan bertanya padaku seperti biasa, kau ingin apa? Dan aku akan menjawab, ingin pagi. Tiba-tiba suara Murai bersahutan, paman matahari datang dengan senyumnya yang tak begitu lebar sambil menghisap cerutu dan mawar-mawar bermekaran. Kemudian akan kukatakan, aku ingin Lily merah yang besar. Ah, kau selalu lupa bahwa aku menyukainya.

Sampai kemudian kukatakan, aku ingin sore. Ingin malam! Ingin pagi lagi sambil berteriak kegirangan dan terkikik. Dan kau akan menarik cuping hidungku sampai merah.

Rona, mana tangan hangatmu? Aku ingin digandeng sampai menuju bangku taman bercat biru itu. Terkadang aku butuh kau, untuk menemani langkahku yang gontai menempuh jarak terdekat sekalipun. Bukankah begitu, karena sebelumnya aku berlari sendirian menujumu tadi.

Rona, aku lupa bagaimana cara tertidur dengan cepat. Padahal di sanalah aku dengan mudah bertemu denganmu, menuju tamanmu yang warna-warni. Aku ingin sesederhana semua yang kita punya saat kecil dulu. Saat kau menarik rambutku dan aku membalas dengan mendorongmu sampai terjatuh. Kemudian aku menangis pulang karena rambutku acak-acakan. Esoknya kau tetap akan membagi kue coklat atau es krim vanilla yang tak kau suka itu. Atau kau akan tetap meminjami mobil-mobilan kayu berwarna coklat yang kubawa hingga tidur. Karena cita-citaku waktu itu adalah menaiki mobil itu denganmu jika sudah boleh memakai sepatu tinggi seperti Ibu.

Rona sayang, beberapa hari lalu mereka bilang kau adalah selingkuhanku. Aku tergelak, sampai perutku sakit kala itu. Kau pun pasti akan tertawa mendengarnya.

Aku menyayangimu, dan kita akan menikahi pikiran masing-masing di balik dinding oranye. Segera, setelah kau selesai menghias ruangan dengan Lily merah kesukaanku.

Pesan Senin, Okt 17 2011 


Pagi masih mengantuk, matanya belum terbuka benar dan embun masih malu-malu menetes di beberapa pohon mawar. Dua pesan masuk diantar bayangan yang berjingkat masuk ke dalam kamar, meletakkan rindu di balik bantal diamdiam.

***

Pesan tak bernama itu berinisial M, sudut matanya basah ketika mengetik barisan huruf penuh doa untuk gadis yang pernah dicintainya. Peluknya pernah begitu nyata, hembusan napasnya pernah begitu hangat membelai ujung hidungnya.

“Kabari aku jika kamu menikah nanti.. Cepat lah.. Kuyakin yg terbaik! Take care..” Kalimat di akhir pesannya.

Aku menghela napas, mengusap ujung mata dengan kuku bercat biru.

Nyanyian Hujan Selasa, Okt 11 2011 


Bergabung dengan ribuan titik dari langit, air mata adalah tinta paling pekat yang kupunya. Menuliskan tentang rindu yang tak pernah selesai untukmu.

Bra hitamku mengintip dari balik gaun putih, sepasang kaki telanjang menyusuri aspal hitam berkilometer jauhnya. Aku terengah sayang.. berlomba dengan habisnya air yang berasal dari gumpalan awan abu-abu, khawatir rindu yang jatuh dari pelupuk tak berkawan lagi dan nyanyian cintaku menjadi kemarau paling panjang.

Laman Berikutnya »