Loper Koran Rabu, Feb 17 2010 


Gadis itu keluar kamarnya, menuruni sembilan undakan, belok ke kanan dan berpamitan pada sang empunya rumah. Berbelok lagi ke kiri pasti ia akan berjumpa dengan bapak tua yang sedang menikmati kopi pekatnya sambil membaca koran, atau terkadang menyapu gang kecil itu atau juga membersihkan gulma di pot-pot tanamannya. Sang gadis pasti akan tersenyum dan berpamitan lagi. Tanpa peduli ia berpamitan dengan siapa sebenarnya.

Di ujung gang, seorang loper koran yang menyunggi korannya di kepala sedang bercanda dengan pemilik warung dan penjual bubur ayam. Pemilik bengkel sedang menggosok mobil pelanggannya. Penjual minuman ringan menunggui barang dagangannya. Kembali sang gadis tersenyum dan bergegas melewati kendaraan umum beroda tiga warna oren. Pagi yang ramai.

Beberapa menit ke depan ia sudah berdiri di pinggir jalan bersama sang loper koran. “Selamat pagii”, sang gadis menyapa. Sang loper koran tertawa memperlihatkan barisan giginya yang rapi dan agak besar. Mereka menyeberang jalanan besar itu bersama-sama, yang bergender laki-laki di depan. Seperti halnya kebanyakan.Setelah berjibaku dengan kendaraan yang melaju cukup kencang, sang gadis berterima kasih. “Iya sama-sama”, balasnya riang sembari  memperlihatkan barisan giginya.

Mereka berjalan bersama, satu tujuan. Bedanya cuma terletak di orientasinya. Sang gadis berjalan menuju kantornya, sang loper koran menjajakan dagangannya. Jika di akhir bulan sang gadis menghabiskan uangnya untuk bersenang-senang, sang loper koran membagi uangnya untuk berbagai keperluan. Anaknya yang masih sekolah di kampung, ibunya yang sakit-sakitan, istrinya yang terus mengatakan kalau uang belanja hariannya selalu kurang dan biaya hidupnya di Jakarta. Semua seberat sunggiannya di kepala yang membawa beraneka macam judul headline.

Sang gadis memilih berjalan lewat trotoar di depan apartemen sedangkan sang loper memilih berjalan di sisi jalan raya. Masing-masing memiliki maksudnya sendiri. Sementara gadis itu terus berjalan menunju kantornya, sang loper tersenyum riang karena ada yang membeli salah satu koran ber-headline tentang bahayanya situs jejaring sosial yang memperjualbelikan anak di bawah umur.

Sang gadis bertemu teman kuliahnya, matanya berbinar, tersenyum dan sedikit berbincang tentang reuni yang akan diselenggarakan akhir bulan. Setelahnya, ia sedikit berjingkat sambil berucap permisi pada penyapu jalan. Menarik tangan kanannya sambil memegangi dahinya karena kepanasan. Panas matahari pagi yang cerah. Namun tidak pernah secerah hatinya walau senyum selalu terkembang.

 

Nikah siri bisa dipenjara! Selasa, Feb 16 2010 


Berita yang menggelitik di Kompas hari ini, 16 Agustus 2010. Pelaku nikah siri bisa dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda 5 juta rupiah. Setuju!. Pelaku nikah siri layak dipenjara, bukan karena menikahnya tetapi karena tidak memenuhi syarat administratif. Dari sisi moral pun, perempuan selalu dirugikan dengan adanya nikah siri. Ya karena itu tadi, karena tidak memenuhi syarat administratif. Secara agama,banyak orang berpendapat bahwa nikah siri adalah sah. Ijab kabul, mahar, saksi, penghulu, mungkin semua elemen itu ada. Secara administratif, buku nikah tidak ada. Ketika si laki-laki berulah, membuat kasus KDRT misalnya akan sulit mengadukan kepada yang berwajib. Atau si laki-laki ini sudah tidak cinta lagi misalnya, maka dengan mudah perempuan akan di talak tiga. Setelah itu, pernikahan pun terputus. Lagi-lagi perempuan akan ditinggalkan, dijadikan korban. Belum lagi misalnya ditambah dengan biaya hidup karena mengandung yang setelahnya tentu akan melahirkan. Anak adalah pelengkap kebahagiaan, bukan menjadi beban. Tapi perempuan mana yang mau ditinggalkan begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban secara materi.

Kabarnya Komnas Perempuan akan mendesak supaya RUU ini segera disahkan. Sangat terlambat memang, tapi daripada tidak sama sekali. Padahal kasus nikah siri sudah sangat marak beberapa tahun terakhir. Bahkan “gaya” pernikahan ini juga seakan dilegitimasi oleh public figure. Semua seakan menjadi abu-abu ketika mereka yang memerankan. Padahal sebagai perempuan, nikah siri (berulang kali saya tulis di sini) pastinya akan sangat merugikan perempuan. Dari berbagai segi, ditilik dari berbagai arah pun hasilnya akan tetap sama. Bahkan kalau boleh saya berpendapat, seakan melegitimasi nafsu belaka. Tapi entah, mudah-mudahan saya dan orang-orang tercinta di sekeliling saya tidak mengalaminya. Baik menjadi korban ataupun pelaku itu sendiri.

Sabtu ini Sabtu, Feb 13 2010 


Rintik hujan masih bergemerecik di atap, MP3 bajakan masih mengalun pelan. Saya menyeruput wedang jahe di atas meja sambil menahan nyeri di pergelangan kaki kiri. Terkilir, tapi harus dibebat tensocrap. Berlebihan kesannya karena besok pasti sembuh. Jangan tanya kenapa, saya memulai kegiatan positif dengan pikiran positif tentunya, AIKIDO. Satu setengah jam dibanting, putar kanan-kiri, back roll. Belum terbiasa, tambah pusing musti berputar-putar begitu. Ah biarlah, biar sibuk. Itu alasan ketika tadi pagi ditanya kenapa bergabung. Alasan yang aneh, karena saya lihat dahinya mengernyit sedikit.

Sedikit merayu ibu supaya membiarkan kain yang membebat kaki dibuang saja. Huff, tidak berhasil, mungkin takut anak satu-satunya ini kenapa-kenapa. Padahal sih, nanti malam saya nekat niat bulu tangkis, pagi jogging dan dilanjut akikido lagi. Bertemu dengan shin-sei (benarkah tulisannya?) nan sedikit galak.