Boleh kan kang? Kamis, Jan 27 2011 


Bangun di pagi hari
Mengingatmu dan tersenyum setelahnya
Kebiasaan baruku kang..
Boleh kan?

Dulu,aku cuma menyambut srengenge muncul dan menunggunya tenggelam
Kini,aku tahu ada yang menunggu senyumku di sana..
Yang kuantar lewat kabel serat optik
Yang mendoakanku disetiap sujudnya
Dan mengharap padaNya supaya hariku selalu baik..

Kang,aku mencoba selalu jujur mencintaimu dari sini..
Simpan hatimu baik-baik di sana ya..
Jangan berikan pada yang lain
Karena hujan di hatiku akan turun jika kau lakukan itu…

Tertanda,

Neng

Surat Cinta Angin Minggu, Des 26 2010 


Hai ilalang, bagaimana kabarmu pagi ini? Ah, kau pasti sudah bangun kan, menjemput sinar srengenge sedari pagi. Aku beritahu kau sesuatu, aku memimpikanmu semalam! Kau pasti terkikik kalau kuberitahu isi mimpi itu. Jangan sekarang ya, aku malu mengatakannya pagi-pagi.

Aku menyayangimu ilalang… Semenjak kita bersama, kalimat itu tak pernah kuucapkan. Buatku, tak usahlah diucap. Cukup kau rasakan saja. Ilalang, bagaimana kalau kita kencan sore ini. Tapi jangan kau kenakan rok putih lebarmu itu ya. Aku tak tahan berhembus, supaya dapat membelai kaki indahmu yang jenjang.

Sore nanti aku akan ke padang rumput, tempatmu tinggal. Aku merindukan gemerisik tubuhmu. Sangat merindukan bunyi indah itu. Sampai pagi menjelang, aku akan menemanimu. Aku janji. Dan akan berusaha menepatinya.

Aku minta maaf atas janji yang kemarin. Tidak, tidak, ..aku tak lupa. Tapi ilalang dari padang seberang memaksaku datang. Tak kuasa kutolak permintaannya. Ia memintaku datang, menemani senja sampai malam menjelang dan tiba-tiba menciumku ketika kupergi. Ah, tenang saja kau tak perlu cemburu. Aku tak menyukainya walau ia lebih cantik dengan tinggi menjulang dan bunga ilalang yang indah. Aku hanya mencintaimu ilalangku sayang… Yang setia menantiku berhembus lembut menuju sela-sela tubuhmu dan menikmati liukannya.

Sudah ya ilalang, terlalu banyak kalimat indah untukmu. Salah-salah nanti aku dibilang gombal. Seperti bahasa manusia itu lho..

(dulu) Sabtu, Des 25 2010 


Bolehkah kutahu rasanya racun serangga yang kau (dulu) tenggak sayang?

Ah tidak, tak usah kau suruh aku mencoba sendiri..

Dan bodohnya, kau tak jadi mati!

Menginap di rumah pesakitan dan pulang menanggung malu karena malaikat maut tak jadi menjemput

Tahukah kau, mengapa ia enggan?

Karena terlalu berat Tuhan mengijinkan

Tuhan biarkan kau menanggung malu atas apa yang kau lakukan di dunia

Atas apa yang kau lakukan padaku (dulu).. 

Atas cercaan, hinaan dan makian yang kau sampaikan padaku

Atas kata maaf yang tak pernah terucap namun selalu kumaafkan

Atas ketidakberdayaanmu sebagai keturunan Adam

Tidak tidak, aku tak dendam.. 

Ah iya, sedikit… 

kuteks merah.. Minggu, Okt 10 2010 


Air matanya menetes, ah berulang kali aku membuatnya menangis. “Aku merendahkan diriku dengan sangat kali ini. Maaf tidak bisa mengunjungimu sesering mungkin. Aku tak punya uang” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Kini, air mata sialan itu rupanya ingin menetes juga di pipiku. Kubiarkan ia mengalir. Aku tertunduk dan menjawab lirih, “tak apa”.

Siapa bilang bahwa aku tak apa-apa? Dinding ruangan 3×3 meter ini pun tahu betul bahwa aku akan selalu bersedih jika ia tak jadi datang. Seperti pagi ini, terpekur menatap lantai kamar dan menunggunya datang. “Ah, kau pasti tak datang sayang. Aku tahu itu” . Janjinya tak tertunai pagi ini, bahkan hingga sang srengenge meninggi pun janji itu tak terbayar. Aku menyeka ujung mata dengan jari berkuteks merah.

Benda keparat itu pasti yang membuatnya tak jadi datang. Uang! Aku benci mengucapkannya. Ia tak pernah punya itu, tak sebanyak yang dimiliki sosok yang biasa menjemputku.

“Kraaaak” bunyi pagar rumah dibuka. Ah itu dia, pasti dia datang menjemput. Kurapikan pakaian dan lekas berdandan tipis. Dia tak pernah menyukai wanita berdandan menor. Sekali lagi kutatap wajahku di cermin dan membuka pintu.Sebuah tangan terulur merangkul pinggangku. Sayang, ijinkan aku menghabiskan malam dengan sosok setengah baya ini agar aku dapat bertemu denganmu besok….

maaf aku selingkuh Minggu, Sep 26 2010 


Jakarta, 26 September 2010

Sayang, inilah surat yang sengaja kutulis untukmu. Maaf tak bisa kukatakan langsung, aku takut kehilangan cintamu kali ini. Sekali lagi maafkan aku sayang, aku telah melakukannya. Beberapa kali kulakukan dengan laki-laki yang berbeda pula. Aku tak tahu mengapa bisa kulakukan hal ini. Selingkuh! Hal yang kubenci dalam membina hubungan, tapi mengapa malah menjebak diri dengan banyak laki-laki dan aku menikmatinya sampai kemudian penyesalan itu datang dan aku tak mampu mengucap sepatah kata maaf pun padamu. Aku tak pernah menuntut apapun darimu, tak pernah sedikitpun. Saat aku sangat ingin meminta sesuatu itu, kau tak pernah mampu berikan. Aku tahu itu. Tak apa. Ah entahlah, kalau tak apa…mengapa aku melakukannya.

Pertanyaan itu tak pernah bisa kujawab. Aku mencintaimu, tapi tak pernah bisa berhenti mencintai lelaki lain. Biarlah kalimat “kau jahat” melekat padaku. Sejujurnya kukatakan, perselingkuhan itu kulakukan tiga bulan sejak kau mengatakan cintamu padaku. Tak pernah bisa juga kutolak pesona lelaki lain yang singgah di hidupku. Sayang, tahukah kau…aku tak pernah menyesal melakukan perselingkuhan sampai aku menulis maafku di surat ini. Aku menikmati kebersamaan dengan mereka termasuk juga menikmati ketika mereka mencuri bibirku dan menelusupkan tangannya di balik kemeja kerjaku. Aku menikmatinya.. maafkan aku. Tidak tidak, jangan kau anggap aku telah tidur dengan mereka. Tidak. Dan aku masih perawan, seperti yang kau inginkan sampai kelak kita menikah.

Sayang, maafkan aku. Tahukah kau, cairan asin bergulir dari ujung mataku. Aku menyesal kini. Apalagi kau tak tahu sama sekali dan tetap mencintaiku. Kau juga tetap mengucap kalimat “aku mencintaimu” setiap hari. Ah, betapa gumpalan di dada itu sangat ingin membuncah karena penyesalanku.

Sayang, pertanyaan besarku mengenai bagaimana rasanya mendua-menigakan-mengempatkan atau bahkan melimakan telah mampu kujawab sudah. Tak akan kukambinghitamkan siapapun, termasuk bapak yang pernah kulihat membonceng perempuan lain di depan mataku dan kini pergi memilih orang lain selain ibu di hidupnya. Tidak juga kau sayang. Ketidakmampuanmu menggenggamku pun tak pernah bisa kusalahkan. Tidak juga Tuhan yang membiarkan aku memiliki hidup sedemikian aneh dan membingungkan ini. Aku selalu resah dan memilih mencari jawab atas pertanyaan-pertanyaan hidupku sendiri.

Satu hal yang kau harus tahu, aku selalu mencintaimu…. Merpatimu ini akan selalu pulang ke rumah. Dan rumah itu adalah kau. Maka kini, dapatkah kata maaf itu aku dapat darimu usai membaca suratku?

Laman Berikutnya »