Persahabatan kami terjalin selama kurang lebih tiga belas tahun lamanya. Dari tengah malam hingga detik ini saya menuliskan tentangnya, rasanya air mata enggan mengering. Anita Destriana, menanggung sakit selama beberapa bulan terakhir dan baru diketahui mengidap kanker kelenjar getah bening stadium empat.
Kami menyayangimu Anita sayang, masih teringat jelas senyum dan kata-kata yang hampir putus asa ia ceritakan waktu itu. Saat dirinya harus membawa bayi dalam rahim yang ternyata berusia tiga bulan tapi ternyata penyakit yang lain menggerogoti. Begitu kerasnya saya menghibur dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Saya begitu ingin menjenguknya kala itu, rela ke rumahnya di siang terik dengan kondisi sedang hamil tua karena ingin sekali memeluknya. Membawakan makanan yang ia inginkan agar ia bisa makan sedikit saja. “Ini sakit sekali”, katanya sambil mengelus pinggang. Siang itu kami tak tahu, bahwa kelenjar getah bening berkembang menjadi musuh utama tubuhnya.
Kami begitu dekat. Terutama karena saya masih berstatus baru akan memiliki momongan, sedangkan kedua sahabat yang lain sudah memilikinya lebih dulu. Ia menginginkan anak laki-laki. Keguguran pertamanya begitu ia sesali dan kerap bercerita bahwa anak itu sering berkunjung dalam mimpinya. Saya sering mengatakan untuk bersabar karena Tuhan maha baik sedang menyimpan dulu untuknya.
Pagi-pagi sekali saya dan sahabat yang lain bertangisan lewat telepon, meminta agar menyampaikan salam untuknya karena saya tak dapat pergi keluar rumah. Sepanjang malam mata saya terpicing sambil menangis, betapa saya mencintainya dan kelebatan-kelebatan masa lalu terus hadir. Bagaimana kami setiap hari pulang bersama saat Sekolah Menengah Atas. Kemudian memiliki bermimpi sekolah di universitas negeri bersama-sama. Bagaimana kami dulu memulai petualangan pertama tanpanya, menunggu di halte bis sangat lama karena ia berjanji akan datang sampai kemudian kami hanya pergi bertiga saja.
Dulu saya sering sekali menginap di kamarnya yang berwarna merah jambu dan ketiduran di tengah malam sambil mendengarkan ceritanya. Terakhir yang saya tahu, ia begitu tenggelam dalam banyak kesedihan. Dan saya baru menyadari, kesedihan mampu merenggut nyawa seseorang perlahan-lahan. Saya tak punya apa-apa untuk menghiburnya selama ini, hanya sepasang telinga, satu mulut dan rentangan tangan untuk memeluknya.
Kini ia pergi selamanya, hanya doa yang mampu memeluknya. Beristirahatlah dalam senyum dan damai wahai mawar kuning, kelopak yang kini berguguran tak pernah menampik keindahanmu yang lalu. Ia menetap dan bersemayam di hati orang-orang yang mencintainya.
Dengan cinta,
P-Betty
Sabtu 29 Juni 2013
2 Responses »