Aku mendidihkan dendam dalam kepalaku; warnanya magenta pekat dan hatiku sakit dari hari ke hari. Air mataku kini kering, setelah sebelumnya mengalir lewat selokan berbau langur. Aku sibuk menulis dosamu sepanjang hari dan tak pernah menghapusnya barang sekata.
Bapak, apakah kau sudah mati? Sejatinya aku hanya menanyakan kabarmu, maaf jika kata itu terlanjur kuhapal lengkap dengan rekaman kenangan di dalamnya. Ular dalam kepalaku mulai tumbuh sejak kau pernah mengacungkan golokmu yang sedang kau asah di bawah pohon waru dengan daunnya yang berlugut. Siang itu, selesai sang muadzin mengumandangkan azan zuhurnya kau mengejarku. Kaki kurusku bergegas ke dapur dan duduk di pojok ambin bambu sambil menangis. Aku tak tahu dosa apa yang membuatmu begitu ingin menghabisi nyawaku. Ingus dan air mata yang deras bercampur ketakutan menjadi temanku kala itu. Sayup kudengar kau akhirnya cekcok mulut dengan Ibu, samar pula tercium bau gosong dari panci yang sedang memasak nasi. Ibu datang tergopoh dan menurunkan masakannya dengan tergesa dari kompor minyak. Kaki kecilku yang menjuntai hingga ke lantai dapur kami yang tanah merah terkena pinggir panci dan aku tak sadar hingga kemudian ia melepuh.
Bapak, benciku padamu tak berujung. Begitu juga padamu, Ibu. Kalian sibuk bersiteru, dititipkannya aku, anakmu satu-satunya pada siapa saja. Sampai tak pernah kalian sadari bahwa keperawananku habis di usia Sekolah Dasar. Adik laki-lakimu Pak, ia terus memainkan jemarinya di sana. Selangkanganku sakit, ia selalu memintaku duduk di atas pangkuannya. Aku tak mengerti dan hanya duduk menurut. Aku kerap menangis di malam hari, kau sering membentak dan mengatakan bahwa kelaparan selalu saja menghampiri mulutku yang rakus.
Aku mengharap kabar datang entah dari mana yang mengatakan bahwa kau mati. Kematian yang tragis. Aku durhaka? Silakan kau teriakkan kata itu dengan lantang, aku tak peduli. Kau paksa aku melihat spermamu berceceran pada perempuan selain Ibu. Dan kau tuding ia berselingkuh dengan lelaki lain.
Berapa lama kita tidak berjumpa? Terakhir kulihat kau pergi membawa dua kemeja yang dimasukkan paksa dalam tas hitammu. Tak ada pamit atau menoleh barang sekejap. Kukira kau akan kembali lagi setelah dua atau tiga minggu, nyatanya dua puluh tahun berlalu kau masih saja enggan pulang. Ibu bilang kau pergi setelah meminta izin akan menikahi seorang janda yang telah hamil lima bulan oleh orang lain. Tapi aku masih mendengar kabar itu, Pak. Kabar bahwa kau diseret warga keluar kamar berdua dengan seorang perempuan saat bulan puasa tiba. Air mataku bercucuran mendengarnya, malu sekali.
Kerut halus pasti sudah muncul di wajahmu. Tubuh tegak yang menjulang sombong pasti tak sekokoh dulu. Masihkah kau seangkuh dan menggelegar ketika marah? Hardikmu tak pernah pelan ketika aku lalai mengerjakan sesuatu. Kau tak pernah perlakukanku seperti layaknya gadis seusiaku. Seharusnya kuminta pada Tuhan dulu, agar aku tak tercipta dari air mani milikmu.
Sudah matikah kau? Jika belum, idul fitri tahun depan kau harus datang ke rumah. Tak usah membawa apapun untuk kami, sebab kutahu engkau telah berat membawa dosamu sendiri.
Sebuah penghakiman, Depok 11 Des 2013
cerita dendam dan sakit hati yang ditulis dengan apik. Saya berharap itu hanya khayalan penulis remaja yang sedang uring-uringan kepada kedua orang tuanya. artinya bukan beneran. Menulislah terus sesuai dengan apa yang ada di hatimu, jangan takut salah jangan takut hardikan , cemoohan atau kritik. salam kenal dari saya oldman Bintang Rina
Hai oldman bintangrina, terima kasih. Saya menulis apa yang mau saya tulis, tak peduli dengan hardikan atau semacamnya. fiksi atau bukan, silakan nikmati membaca tanpa mempertanyakan ini cerita asli atau bukan sebab dunia begitu banyak menyajikan inspirasi. Salam 🙂