Aku terbangun dan langsung menyingkap selimut putih yang menutup dada.
“Kau tidak bekerja?”.
“Lima menit lagi aku bangun”, jawabnya malas.
Matahari mengintip dari buku-buku jendela dengan tirai sedikit terbuka. Sebuah blouse berwarna turqouise tersampir, berturut-turut barang lainnya tergeletak di kursi. Tak jauh, sebuah kemeja abu-abu diletakkan dengan sembarangan. “Di mobil ada kemeja lain, Sayang. Tak usah khawatir”, tangannya mulai meremas pinggul, mengelus perlahan dan bibirnya mencari leherku sambil terpejam. Aku menggeliat. Tolakan halus itu tak berhasil, jemarinya terus menjelajah, merayu tanpa bicara. Aku menyerah, kami memulai pagi dengan basah dan tinggi.
“Nanti malam kita bertemu lagi?”, tanyanya sambil memeluk.
“Aku ada janji dengan pembeli”.
Wajahnya sedikit memberengut. Kupeluk ia dari belakang dan menciumi tubuhnya yang wangi parfum dengan aroma bergamot. Ia berbalik, menangkap kedua tanganku dan membawa ke belakang tubuhnya. Kami berpelukan. Hening diantaranya, hanya napas pelan dan teratur. “Aku mencintaimu”, ia melepas dekapannya dan mengambil tas kerja di sudut setelah menggulung kemeja hingga siku.
Ia berlalu dari pandangan, menyisakan wangi parfum yang tertinggal di ruangan dan kepalaku. Langkahku bergerak menuju toilet, menutup tirai tipisnya dan mulai menyalakan shower.
***
Berkeliling pandanganku di restoran dengan arsitektur Jawa ini, mencari-cari sosok perempuan yang sedianya telah menghubungi berkali-kali.
“Mbak sudah sampai mana?”, sebuah suara di telepon genggam terdengar empuk.
“Saya sudah sampai, Mbak”.
Kami bertemu muka pada akhirnya, ia memilih tempat duduk di samping taman dengan pancuran yang terbuat dari bambu. Berjungkat-jungkit ketika kosong kemudian menumpahkan airnya jika sudah penuh. Beberapa ekor ikan koi berenang ke sana kemari, pada pinggir kolam yang ditumbuhi pegagan air, beberapa bunga warna-warni begitu cantik dipandang. Kursi-kursi empuk dengan ukiran rumit tak begitu dipenuhi orang-orang, beberapa diantaranya bercakap dalam suara kecil dan rapi.
Wanita di depanku terlihat sederhana dengan rambut yang diangkat ke atas. Sepasang giwang terpasung di telinganya yang kecil dengan beberapa anak rambut menjuntai manis. Mata cokelatnya dinaungi alis rapi dengan lengkungan sempurna. Bicaranya pun tertata apik. Ia banyak bercerita tentang kebahagiaan dalam hidupnya. Memiliki dua anak dan suami yang berprofesi sebagai direktur perusahaan kayu lapis. Ruko yang akan dibelinya dariku sedianya akan digunakan untuk usaha salon agar dirinya memiliki kesibukan lain. Sebentar kemudian bibirnya bergerak mengucap maaf memohon izin untuk mengangkat telepon genggamnya.
Dua puluh menit kemudian dua anak kecil menghambur masuk lewat pintu restoran sambil berlari. Tas punggungnya yang besar gaduh oleh suara benda di dalamnya yang ikut berguncang-guncang. Mereka bergelayut di kiri kanan kursi klien di depanku, berebut cerita tentang yang dilihat di jalan.
“Panji, Adila, kenalan dulu nih sama teman Mama. Namanya Tante Ratna”.
Aku tersenyum. Dua seringai lebar dengan gigi susu mengucapkan salam secara bersamaan. Kemudian mereka sibuk memilih menu, kembali bercerita sambil tertawa riang menunggu makanan datang. Si bungsu memamerkan hasil gambarnya di sekolah, sang kakak menimpali bahwa awan yang diwarnainya terlalu biru. Mereka terus bercakap-cakap sampai datang sosok lain.
Seandainya saja semua kebahagiaan itu milikku, Mas. Jika saja aku bukan daun yang mengharap angin bertiup untuk sekadar tahu bahwa engkau ada dan menghidupiku. Kita bertemu memang bukan untuk berpisah, tapi bersama sampai mati adalah tak mungkin. Sesak dadaku terus berandai-andai jika saja perempuan di depanku ini adalah aku. Sementara wangi parfum aroma bergamot dan lengan kemeja yang digulung hingga siku menjadi pemandangan yang terus kusaksikan di depan mata, aku tahu pandangan matamu telah menancap hingga ke ulu hatiku. Sampai bertemu nanti malam, Mas. Kau harus datang sendiri, tanpa anak dan istrimu.
-Pondok Indah, 24 Mei 2013
One Response »