Maaf Aku Cuma Rindu, Rona… Kamis, Jun 13 2013 


Gugur daun kemboja menelisik sepi
Sepasang kaki berjalan terlunta di tepi makam
Kembara tak kunjung usai
Perasaan membelukar
Durja seperti darah
Waktu mengular, melilit sepi hingga ngelangut

Derai kata bertabur rinai air mata
Sesak menghimpit raga
Akankah takdir memetik kita pada suatu masa

Ah..
Maaf aku cuma rindu, Rona..
Padamu yang sekarang

Nyawang Jumat, Mei 24 2013 


Aku terbangun dan langsung menyingkap selimut putih yang menutup dada.
“Kau tidak bekerja?”.
“Lima menit lagi aku bangun”, jawabnya malas.

Matahari mengintip dari buku-buku jendela dengan tirai sedikit terbuka. Sebuah blouse berwarna turqouise tersampir, berturut-turut barang lainnya tergeletak di kursi. Tak jauh, sebuah kemeja abu-abu diletakkan dengan sembarangan. “Di mobil ada kemeja lain, Sayang. Tak usah khawatir”, tangannya mulai meremas pinggul, mengelus perlahan dan bibirnya mencari leherku sambil terpejam. Aku menggeliat. Tolakan halus itu tak berhasil, jemarinya terus menjelajah, merayu tanpa bicara. Aku menyerah, kami memulai pagi dengan basah dan tinggi.

“Nanti malam kita bertemu lagi?”, tanyanya sambil memeluk.

“Aku ada janji dengan pembeli”.

Wajahnya sedikit memberengut. Kupeluk ia dari belakang dan menciumi tubuhnya yang wangi parfum dengan aroma bergamot. Ia berbalik, menangkap kedua tanganku dan membawa ke belakang tubuhnya. Kami berpelukan. Hening diantaranya, hanya napas pelan dan teratur. “Aku mencintaimu”, ia melepas dekapannya dan mengambil tas kerja di sudut setelah menggulung kemeja hingga siku.

Ia berlalu dari pandangan, menyisakan wangi parfum yang tertinggal di ruangan dan kepalaku. Langkahku bergerak menuju toilet, menutup tirai tipisnya dan mulai menyalakan shower.

***

Berkeliling pandanganku di restoran dengan arsitektur Jawa ini, mencari-cari sosok perempuan yang sedianya telah menghubungi berkali-kali.
“Mbak sudah sampai mana?”, sebuah suara di telepon genggam terdengar empuk.

“Saya sudah sampai, Mbak”.

Kami bertemu muka pada akhirnya, ia memilih tempat duduk di samping taman dengan pancuran yang terbuat dari bambu. Berjungkat-jungkit ketika kosong kemudian menumpahkan airnya jika sudah penuh. Beberapa ekor ikan koi berenang ke sana kemari, pada pinggir kolam yang ditumbuhi pegagan air, beberapa bunga warna-warni begitu cantik dipandang. Kursi-kursi empuk dengan ukiran rumit tak begitu dipenuhi orang-orang, beberapa diantaranya bercakap dalam suara kecil dan rapi.

Wanita di depanku terlihat sederhana dengan rambut yang diangkat ke atas. Sepasang giwang terpasung di telinganya yang kecil dengan beberapa anak rambut menjuntai manis. Mata cokelatnya dinaungi alis rapi dengan lengkungan sempurna. Bicaranya pun tertata apik. Ia banyak bercerita tentang kebahagiaan dalam hidupnya. Memiliki dua anak dan suami yang berprofesi sebagai direktur perusahaan kayu lapis. Ruko yang akan dibelinya dariku sedianya akan digunakan untuk usaha salon agar dirinya memiliki kesibukan lain. Sebentar kemudian bibirnya bergerak mengucap maaf memohon izin untuk mengangkat telepon genggamnya.

Dua puluh menit kemudian dua anak kecil menghambur masuk lewat pintu restoran sambil berlari. Tas punggungnya yang besar gaduh oleh suara benda di dalamnya yang ikut berguncang-guncang. Mereka bergelayut di kiri kanan kursi klien di depanku, berebut cerita tentang yang dilihat di jalan.

“Panji, Adila, kenalan dulu nih sama teman Mama. Namanya Tante Ratna”.

Aku tersenyum. Dua seringai lebar dengan gigi susu mengucapkan salam secara bersamaan. Kemudian mereka sibuk memilih menu, kembali bercerita sambil tertawa riang menunggu makanan datang. Si bungsu memamerkan hasil gambarnya di sekolah, sang kakak menimpali bahwa awan yang diwarnainya terlalu biru. Mereka terus bercakap-cakap sampai datang sosok lain.

Seandainya saja semua kebahagiaan itu milikku, Mas. Jika saja aku bukan daun yang mengharap angin bertiup untuk sekadar tahu bahwa engkau ada dan menghidupiku. Kita bertemu memang bukan untuk berpisah, tapi bersama sampai mati adalah tak mungkin. Sesak dadaku terus berandai-andai jika saja perempuan di depanku ini adalah aku. Sementara wangi parfum aroma bergamot dan lengan kemeja yang digulung hingga siku menjadi pemandangan yang terus kusaksikan di depan mata, aku tahu pandangan matamu telah menancap hingga ke ulu hatiku. Sampai bertemu nanti malam, Mas. Kau harus datang sendiri, tanpa anak dan istrimu.

-Pondok Indah, 24 Mei 2013

Cinta Pukul Tujuh Pagi Rabu, Jan 30 2013 


Selamat pagi, Sayang..

Kita berpisah untuk kemudian kulihat punggungmu ditelan ujung jalan pada pukul tujuh pagi, setiap hari.

Belakangan resahku kian menjadi di saat seharusnya lebih banyak tersenyum karena kehadiran janin dalam perutku. Maafkan aku karena kerap menjatuhkan sedih di atas meja kerja.

Mengertikah engkau mengapa aku bangun lebih pagi, terduduk sebentar kemudian memelukmu lebih lama? Mengerti jugakah engkau, mengapa aku berkali-kali mencium pipi kirimu? Dan apa juga engkau mengerti aku kerap meminta pelukmu lebih lama sesaat sebelum melihatmu berangkat kerja?

Aku berjuang dalam kerapuhan yang sangat. Mencoba berdiri setelah berkali-kali jatuh tersungkur. Dan engkau masih di sana, membantu menggapai tanganku untuk berdiri kembali. “Jangan sering bersedih, karena aku akan jauh lebih sedih melihatmu menangis”, katamu.

Masih kuingat betul malam penuh kesakitan itu dan kau memelukku sampai tertidur, mengusap bahu jika tanpa sengaja aku tersentak bangun disertai ceracau tak jelas. Aku bukannya tak melihat pias wajahmu melihat semua kaki, tangan dan semua bagian tubuhku memucat tapi sakit ini memaksaku diam dan hanya buliran bening yang jatuh di ujung pelupuk.

“Cepatlah sembuh, Sayang. Mawar-mawarmu layu”, katamu suatu pagi. Kulihat di teras depan, beberapa mawar meranggas kering dan tangkainya rebah. Kupu-kupu enggan berkunjung, tamanku sepi.

Aku masih akan terus berjuang, bahkan jika harus menelan begitu banyak pil-pil pahit setiap harinya. Dan, temani aku. Sebab cinta bukanlah lonceng di pukul tujuh pagi, ia berdentang sepanjang waktu, mendegup sepanjang hayat.

[Sebuah Jawaban] Surat Kaleng Sabtu, Jan 19 2013 


Dear,

Terima kasih untuk surat kaleng yang sudah diterima dengan baik siang tadi. Saya tahu itu kamu.

Kamu selalu mengamati saya dari kejauhan, sebab itu sebaik-baiknya hal yang memang bisa dilakukan. Maaf saya tak dapat menjawab suratmu terlalu banyak. Sebab semua aktivitas tak membolehkan untuk terlalu lelah. Dan saya benci mengatakan ini, bahwa saya menjadi demikian lemah secara fisik walaupun otak dan pikiran saya begitu bersemangat.

Saya harus menikmati proses ini, berjalan dengan begitu lambat, menuruni undakan dengan sangat perlahan, berbicara dengan lebih pelan. Bahkan untuk aktivitas menulis atau memotong batang mawar-mawar yang saya sayang membuat hampir ambruk siang tadi.

Dear, terima kasih untuk doanya. Terima kasih untuk puisinya. Terima kasih untuk begitu banyak kata yang selalu rajin kamu beri pita dan diletakkan tepat di pintu hati saya sebagai hadiah.

Saya menyayangimu.

Rindu (tak) Bertuan Rabu, Agu 17 2011 


Tak apalah,aku terus tersesat dalam pikiranku sendiri tentangmu. Saat bangunan angan semakin tinggi di dalamnya, dengan pilar rindu dan lantai cinta yang diam-diam terus kuluaskan. Sendiri..

Tak apalah, aku terus merindukan sosok kasat mata dengan rasa yang begitu besar. Mungkin semacam menabung rindu seperti layaknya gudang embun dalam langit yang baru akan jatuh esok pagi.

Tak apalah, aku menatap sedih pada air mata yang berjatuhan karena tak tahu hendak kemana rindu berpulang.

Demi Tuhan sayang, tak apa.. Aku akan baik-baik saja dengan rindu dan cinta tak bertuan ini..

Laman Berikutnya »