Aku lahir di tahun 1983 saat presiden Soeharto masih menjabat. Enam tahun kemudian aku duduk di bangku Sekolah Dasar dan ketika itu kami diharuskan menghapal semua nama menteri yang dijadikan bahan kuis menjelang pulang. Siswa yang dapat menjawab dengan tepat boleh pulang lebih dulu sekaligus mendapat predikat paling pintar. Asti si jago gambar dan matematika yang sulit menghapal bukanlah siswa pintar, ia tak pernah hapal menteri penerangan, sosok bapak-bapak berjas yang gemar berpakaian kuning dengan atribut bergambar pohon beringin yang kelihatannya teduh.
Bapakku bekerja di badan logistik milik pemerintah. Ia berkutat di bagian mengurusi beras seluruh Indonesia. Pakaian kerjanya berupa safari berwarna hijau telur asin dan ia selalu salah mengancingkannya. Ibu bilang posisinya selalu jingkek, satu kancing terlewat olehnya sehingga bahunya akan terlihat lebih rendah. Ia berangkat pukul tujuh pagi, dengan terlebih dahulu mencium kening ibu dan menyerahkan Dava ke gendongannya.
Ibu adalah ibu rumah tangga yang merangkap menjadi tukang jahit. Ia menjahit apa saja, baju milik Pak Ronggo yang bekerja di perusahaan daerah, celana panjang yang sobek milik Pak Ruki tetangga kami yang penjual tape uli atau membuat baju dengan renda-renda cantik untuk anak seusiaku bernama Resya. Dan ibu akan membuatkan baju untukku dari sisa-sisa bahan milik pelanggannya.
Seratus rupiah untuk uang jajan yang diberikan ibu. Ia selalu mengambilnya dari kotak kayu berwarna coklat yang diletakkan di atas radio dengan dua frekuensi yang biasanya didengarkan saat ia bekerja. Maka suara penyiar radio RRI dengan suara mesin jahit yang digerakkan kakinya beradu di ruang tamu kami. Jika radio itu tiba-tiba kehilangan frekuensinya, tugasku memukul sisi kanannya, suara kresek-kresek akan hilang, berganti menjadi nyanyian Rhoma Irama.
“Pakai sepatumu dan tunggu di depan, ibu mengunci pintu dulu”. Kulihat matanya sembab, ia menggendong Dava erat-erat dan mengambil semua uang di kotak kayu coklat sebelum menyisakan selembar uang kertas dan koin dengan ragu. Adikku tertidur dengan mulut terbuka dan wajahnya lebih putih dari biasanya. Ibu bilang aku tak boleh banyak bertanya. Setitik keringat sebesar jagung terbit dari dahinya. Aku tak mengerti bagaimana dahi ibu yang mulus dan putih itu bisa mengeluarkan air.
Kami duduk mengantri di luar klinik. Bangku panjangnya diisi oleh ibu muda berambut keriting yang sedang hamil tua. Wajahnya galak dan tangan kirinya sibuk mengipas-ngipas dengan sehelai koran bekas. Kulihat di luar pagar klinik seorang laki-laki penjual boneka plastik yang dipompa dengan udara menawariku dari kejauhan, bentuk panda dengan kaki merah jambunya menjadi perhatianku. “Beli setengah dulu boleh kan?”, ibu membayar resep di kasir. Aku masih berdiri mematung, memandang ke luar pagar.
Pukul tujuh malam bapak kedatangan tamu. Ia berkepala botak, necis dan matanya besar. Mereka duduk berhadap-hadapan di ruang tamu dengan tiga kursi dan taplak meja bermotif batik.
“Saya tahu Pak Romli sedang butuh uang”, ujarnya sambil memutar bola mata mengawasi tiang-tiang, dinding dan perkakas rumah kami.
Bapak terdiam.
“Saya butuh orang yang bisa melicinkan usaha ini”, tangannya menyorongkan segepok uang, menambah dua tumpukan yang sudah di atas meja.
Kulihat tenggorokan Bapak naik turun.
“Nanti kalau sudah semuanya, saya pasti tambahkan. Saya pasti rugi kalau beras-beras itu tak jadi turun malam ini. Ayolah”, senyum rayuan masih terpajang di wajahnya.
Bapak beringsut membetulkan posisi duduknya yang mulai melorot.
“Saya tidak bisa Pak Bengki. Saya juga tak mengerti kenapa orang sekelas bapak mau menimbun beras. Gudang itu menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya. Saya memang bodoh. Tapi saya memilih menjadi bodoh daripada harus memakan uang-uang ini”. Bapak menumpuk ketiga jejeran uang tadi menjadi satu dan menyorongkan ke orang yang dipanggil Pak Bengki tadi.
Ibu mendengarkan percakapan sambil mendekap Dava. Rambutnya yang dibelah tengah menyisakan juntaian di sana-sini dengan berantakan. Botol obat yang dibelinya tempo hari sudah kosong. Sendok kecil di sampingnya bersih, tak ada noda putih bekas obat. Aku duduk di sisi tempat tidur menggoyangkan kaki kanan dan kiri sehingga ia beradu dan menimbulkan bunyi tuk-tuk yang berisik.
Bapak masuk, mengambil Dava dari dekapan ibu dan menciumnya. Air matanya jatuh, ikut membasahi pipi adik yang masih tertidur dengan kompres di dahinya.
Pak Bengki sudah pergi didampingi ajudannya yang menunggu di luar pintu.
Seekor cicak jatuh di atas meja ruang tamu.
Namaku Damar. Aku lahir di tahun 1983. Ibu adalah ibu rumah tangga yang merangkap menjadi tukang jahit. Bapakku bekerja di badan logistik milik pemerintah. Ia berkutat di bagian mengurusi beras seluruh Indonesia. Setiap hari ibu cuma memasak seukuran batok berwarna kehitaman. Toples bening tempatnya menyimpan beras seringkali kosong dan ia akan meniriskan butiran nasi-nasi itu dari centong kayu dengan seksama, tak dibiarkannya sebutir pun tertinggal di sana. Adikku mati karena bapak terlalu jujur.
Leave a Response »