Layar telepon genggam saya berkedip. April calling…hmm sahabat saya yang mau menikah di bulan Januari. “Halo, kenapa nek?”. “Da, lo diundang Wayang nikah gak?”. Saya terdiam dan sejenak berpikir, “hm, enggak tuh gw gak dapet undangannya , kata Kak jatni sih gw mau diundang. Tapi klo diundang pun gw gak akan dateng, males”  jawab saya sekenanya. Setelah sibuk berhai-hai dan basa-basi menanyakan persiapan menikahnya, saya tutup telepon dan menarik nafas.

Wayang, nama yang akrab di telinga. Tempo hari saya dengar dia akan menikah. Ajakan yang sama juga pernah mampir ke saya  kurang lebih setahun yang lalu. Ajakan yang saya tolak mentah-mentah. Saya tidak pernah mencintainya. Ironis memang, usia pacaran kami menginjak 2 tahun. Tapi ajakan untuk serius saya tanggapi dengan dingin. Bahkan ketika dia mati-matian berjuang untuk mempertahankan rasa yang dia miliki ketika saya sendiri memutuskan untuk mengakhiri saja.

Bahkan setelah saya memutuskan untuk tidak lagi menghubunginya dan benar-benar memutus tali silaturahmi dia masih menggunakan berbagai cara meneror dan membuat saya tidak nyaman. Dari mulai menunggu di kos sampai larut malam dan perang mulut dengan hebat di tempat tinggal yang notabene bukan milik saya.

Sekarang tentunya dia sudah bahagia dengan pasangannya. Hmm, tidak ada terbersit rasa iri atau apapun. Saya ikut bahagia. Bahagia karena bukan saya yang menjadi pasangannya. Hah, lagi-lagi pikiran yang aneh dan di luar kendali menguasai. Kalau gadis lain akan menangis karena ditinggal menikah mantan pacarnya, saya justru biasa saja. Jangan-jangan saya sudah tidak normal.Bukan, bukan itu saya rasa. Saya berpikir dari dulu semenjak rasa indah itu hilang, saya bersumpah tidak akan menikah dengannya. Sumpah yang saya ucapkan dalam hati dan berujung pada pemaksaan padanya agar melepas saya. Jadi, ketika saya dengar dia sudah dengan orang lain saya justru bahagia.

Selepas darinya saya kembali menata hidup. Tidak lagi sebulan sekali masuk ruang praktek dokter yang sekarang menjadi sahabat saya. Kembali berpikir positif dan tersenyum di pagi hari tentunya. Ya, saya ikut bahagia mendengar kamu menikah dengannya, bukan dengan saya.