Beberapa hari belakangan ini saya kembali tidur larut malam. Asyik mengetik sendirian hingga tengah malam diiringi mp3 bajakan dari laptop saya. Barangkali ini satu-satunya barang yang sangat setia menemani ke manapun, dari mulai mojok di kafe berjam-jam sampai menemani hampir pagi. Hmfff..banyak sekali kejadian di minggu ini. Seminggu, ya seminggu saya tidak bekerja. Ambil cuti panjang sebelum berlalu ke next journey. Hampir tidak sabar rasanya.

Saya banyak berdamai dengan hati, perasaan, waktu dan situasi sekarang ini. Banyak yang berubah juga setahun belakangan ini. Selain lebih perempuan, saya juga ‘berusaha’ lebih banyak tersenyum. Apapun kesulitan yang saya hadapi rasanya akan lebih mudah dengan tersenyum. Klise memang, terkesan normatif. Tapi cermin berbentuk kura-kura yang saya bawa ke mana-mana, cermin yang juga ada di samping monitor meja kerja, cermin di kamar kost, cermin di rumah, di mal, di toilet seakan mengatakan betapa jeleknya muka saya ketika cemberut karena memikirkan banyak hal. Betapa jeleknya juga muka saya pasca menangis karena saya kesal, bingung atau marah. Selain mata besar yang gampang bengkak juga hidung memerah. Ah, pokoknya sangat tidak cantik. Ketika buliran air mata mengalir bersamaan dengan ingus di hidung, membuat perempuan manapun, secantik apapun tidak akan terlihat cantik. Jadi intinya, sebenarnya saya takut tidak cantik atau takut menangis? Hahaha….

Kejadian aneh juga banyak mampir di hari-hari saya belakangan ini. Selain ada tetangga yang mencoba melakukan bunuh diri. Gosh, saya pikir itu cuma ada di sinetron atau buku yang saya baca. Ini real dan benar-benar terjadi. Sebut saja Tante Ri. Ia cantik, seumuran Emak saya, memiliki usaha salon kecantikan di bilangan (saya lupa di mana, tapi konon langganannya adalah artis terkenal). Yang saya ingat ia punya tindikan di hidung, berkulit putih dan sekampung dengan Emak. Nah karena kesamaan letak geografis itulah terkadang mereka curhat-curhatan (padahal apa hubungan letak geografis dengan curhat ya?). Kurang lebih dua bulan yang lalu, saat weekend Tante Ri bertandang ke rumah. Wajah putihnya yang tanpa make-up sangat pucat.  Dan ia banyak menatap saya sore itu, mungkin karena terakhir saya bertemu dengannya waktu masih SMA, ia tidak banyak mengenali kecuali Emak mengatakan kalau saya anak gadis satu-satunya, ia baru ngeh. Setelah mencium tangannya dan sedikit menanyakan kabarnya saya pergi berlalu karena ada janji dengan salah satu gank SMA. Kabar ter- update baru saya tahu selepas janji dengan teman terpenuhi. Emak bilang Tante Ri baru beberapa minggu lalu melahirkan bayi perempuan dari suami barunya, usaha salonnya yang di bilangan (saya masih tetap lupa namanya) sudah tutup, ia juga meminta saya menjadi model lomba make-up yang diadakan majalah perkawinan (untuk yang ini saya bingung kenapa bisa-bisanya memilih saya menjadi modelnya).

Dan kemarin..Tante Ri mencoba bunuh diri dengan meminum racun seranggga. Awalnya saya (yang lagi-lagi akan beranjak pergi) dan Emak melihat pembantu Tante Ri tergopoh-gopoh dengan wajah sedikit khawatir. Pak RW yang sedang menyalakan motornya terbengong-bengong dan akhirnya kami mendapat kabar kalau Tante Ri sakit. Emak langsung beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke rumah Tante Ri. Dengan tergopoh-gopoh juga.

Satu jam kemudian Emak datang dan daster bunga-bunganya berbau tajam racun serangga. “Tante Ri mau bunuh diri!” Emak langsung memberi kabar. Saya terhenyak, ada apa gerangan dengan dirinya sampai memutuskan bunuh diri. Dan Tante cantik itu untungnya masih tertolong karena pembantunya yang berjumlah tiga orang ternyata memergokinya. Walau ia sempat menyorongkan belati tajam ke salah satu pembantu laki-lakinya Tuhan masih menginginkan ia hidup.

Sayangnya Tante Ri tidak bersedia di bawa ke rumah sakit untuk membuang racun itu dari perutnya. Ia memilih di rumah, walau sudah disuapi susu dan kelapa hijau ia tak kunjung memuntahkan cairan yang berasal dari kaleng hijau itu. Waktu itu tanpa sadar mulut saya komat-kamit berdoa. Tuhan, jangan ambil dulu nyawanya dengan cara seperti ini. Dan hari ini, ia masih hidup dan kabar dari Emak mengatakan ia sudah “nyupir” sendiri. Syukurlah.

Kabar lain, saya bolos latihan lagi. Malas bertemu dengan asisten shensei yang berbadan lebar dan pongah itu. Bayangkan, ia menghardik!. Bukan hanya kepada saya tapi juga pada anak-anak lainnya. Tidak sepantasnya padahal karena beladiri yang saya pelajari mengutamakan kerendahan hati. Jadi, daripada menggerutu melihat wajah tidak cantik akibat kepongahannya saya memilih lurus, belok kiri, ke kanan dan berlabuh di tempat yang menjadi rekreasi warga Jakarta. Apalagi namanya kalau bukan mal. Putar-putar berjam-jam dengan sepatu butut yang sudah 6 tahun menjadi teman baik saya ke mana-mana (tapi terakhir saya cuci 2 tahun yang lalu..see betapa cueknya saya). Tapi cukup nyaman dibanding sahabat saya yang masih berhigh-heels. Ketika saya tanya dia cuma bilang, “nggak kok, ini nyaman banget”. Saya tergelak, dasar perempuan…asli tidak asli yang penting cantik. Sakit tidak sakit yang penting cantik. Setelah berjam-jam kami cuma window shopping dan banyak komentar seputar pekerjaan, trend pakaian, flat shoes, high heels, sampai mengomentari laki-laki yang sedang menunggui gadisnya memilih sepatu karena anting di telinganya agak kebesaran dan ia lebih cocok dengan yang anting tusuk saja supaya terlihat agak macho dan tidak terlihat seperti bencong. Hahaha..kami tergelak. Akhirnya kami pulang. Pulang kali ini, saya yang gantian membawa kendaraannya. Di tengah jalan saya berujar, “Tengkiu ya, lo udah bikin gw ketawa dan seneng hari ini”. Sahabat saya tersenyum dan dan dia memberi judul hari ini, “Sehari bersama Nita”.