Bapak, Apakah Kau Sudah Mati? Rabu, Des 11 2013 


Aku mendidihkan dendam dalam kepalaku; warnanya magenta pekat dan hatiku sakit dari hari ke hari. Air mataku kini kering, setelah sebelumnya mengalir lewat selokan berbau langur. Aku sibuk menulis dosamu sepanjang hari dan tak pernah menghapusnya barang sekata.

Bapak, apakah kau sudah mati? Sejatinya aku hanya menanyakan kabarmu, maaf jika kata itu terlanjur kuhapal lengkap dengan rekaman kenangan di dalamnya. Ular dalam kepalaku mulai tumbuh sejak kau pernah mengacungkan golokmu yang sedang kau asah di bawah pohon waru dengan daunnya yang berlugut. Siang itu, selesai sang muadzin mengumandangkan azan zuhurnya kau mengejarku. Kaki kurusku bergegas ke dapur dan duduk di pojok ambin bambu sambil menangis. Aku tak tahu dosa apa yang membuatmu begitu ingin menghabisi nyawaku. Ingus dan air mata yang deras bercampur ketakutan menjadi temanku kala itu. Sayup kudengar kau akhirnya cekcok mulut dengan Ibu, samar pula tercium bau gosong dari panci yang sedang memasak nasi. Ibu datang tergopoh dan menurunkan masakannya dengan tergesa dari kompor minyak. Kaki kecilku yang menjuntai hingga ke lantai dapur kami yang tanah merah terkena pinggir panci dan aku tak sadar hingga kemudian ia melepuh.

Bapak, benciku padamu tak berujung. Begitu juga padamu, Ibu. Kalian sibuk bersiteru, dititipkannya aku, anakmu satu-satunya pada siapa saja. Sampai tak pernah kalian sadari bahwa keperawananku habis di usia Sekolah Dasar. Adik laki-lakimu Pak, ia terus memainkan jemarinya di sana. Selangkanganku sakit, ia selalu memintaku duduk di atas pangkuannya. Aku tak mengerti dan hanya duduk menurut. Aku kerap menangis di malam hari, kau sering membentak dan mengatakan bahwa kelaparan selalu saja menghampiri mulutku yang rakus.

Aku mengharap kabar datang entah dari mana yang mengatakan bahwa kau mati. Kematian yang tragis. Aku durhaka? Silakan kau teriakkan kata itu dengan lantang, aku tak peduli. Kau paksa aku melihat spermamu berceceran pada perempuan selain Ibu. Dan kau tuding ia berselingkuh dengan lelaki lain.

Berapa lama kita tidak berjumpa? Terakhir kulihat kau pergi membawa dua kemeja yang dimasukkan paksa dalam tas hitammu. Tak ada pamit atau menoleh barang sekejap. Kukira kau akan kembali lagi setelah dua atau tiga minggu, nyatanya dua puluh tahun berlalu kau masih saja enggan pulang. Ibu bilang kau pergi setelah meminta izin akan menikahi seorang janda yang telah hamil lima bulan oleh orang lain. Tapi aku masih mendengar kabar itu, Pak. Kabar bahwa kau diseret warga keluar kamar berdua dengan seorang perempuan saat bulan puasa tiba. Air mataku bercucuran mendengarnya, malu sekali.

Kerut halus pasti sudah muncul di wajahmu. Tubuh tegak yang menjulang sombong pasti tak sekokoh dulu. Masihkah kau seangkuh dan menggelegar ketika marah? Hardikmu tak pernah pelan ketika aku lalai mengerjakan sesuatu. Kau tak pernah perlakukanku seperti layaknya gadis seusiaku. Seharusnya kuminta pada Tuhan dulu, agar aku tak tercipta dari air mani milikmu.

Sudah matikah kau? Jika belum, idul fitri tahun depan kau harus datang ke rumah. Tak usah membawa apapun untuk kami, sebab kutahu engkau telah berat membawa dosamu sendiri.

Sebuah penghakiman, Depok 11 Des 2013

Komedi Gelap Selasa, Jul 9 2013 


Sasa kembali memutar tubuhnya, menggerakkannya maju mundur bagai orang bercinta di ranjang. Sementara dua puluh empat orang lainnya masih saja berseru-seru kegirangan. “Hahaha… Huoooo… Yihaaa, goyaaang, Sasa!”. Tepuk tangan begitu riuh, lebih ramai dari biasanya. Terutama setelah absen penampilannya kemarin karena kedatangan temannya dari Malang.

Dari awal kepala rumah sakit melarang kedatangan siapapun selain Bapak, Ibu dan adiknya, Melati. Akibat peristiwa kedatangan orang dari masa lalunya itulah menjadi awal perkenalan kami. Kusodorkan tangan dengan gemetar. Sasa adalah pasien baru di sini, tapi siapa tak mengenalnya. Ia waras tapi tak waras. Sebagian dirinya terjebak dalam lubang hitam di kepalanya. Sesekali lubang itu memuntahkan isinya keluar, membuatnya kembali berteriak, meloncat-loncat di kasur atau mengacungkan gagang sapu yang diteriakkannya sebagai parang.

Sebelumnya Sasa mengenakan piama, kini ia melepasnya menjelang sore. Menggantinya dengan terusan pendek merah yang gemerlap ditimpa sinar lampu atau kemben ungu dan rok mininya yang berwarna oranye. Pada akhir penampilannya di atas panggung ia akan melepas semua, menyisakan BH dan celana dalam hitam sambil terus menari-nari.  Seperti yang kini ia lakukan.

Aku membeku menyaksikan penampilannya. Perawat laki-laki yang tadi mengajakku berbincang masih tertawa geli. Menertawakan orang gila, atau kami yang gila dan mereka yang sesungguhnya waras.

“Penampilanmu tadi luar biasa sekali, Sasa”, ujarku sambil melangkah lebih lebar agar sejajar dengannya. Ia menyeka keringatnya dan menoleh. “Maksudmu?”. Ia mengernyitkan dahinya. “Iya, kamu cantik sekali dengan baju ungu dan rok oranye itu”. Ia tersenyum. Matanya tak lagi merah. Aku membantunya mengenakan piama kembali.

*

Ini hari kedua kami berkenalan, aku duduk menemaninya di taman. Ia senang melamun di bangku dengan cat berwarna hijau bola tenis. “Sasa belajar menyanyi di mana?”, tanyaku perlahan. Ia menjawab bahwa Mbak Minah dulu meminjaminya radio tape yang dapat disetel lagu dangdut kapan pun ia mau. Mengingatnya dengan baik dalam otak dan hingga kini melekat dalam ingatannya. Kutaksir raut wajah dan perawakannya, Sasa pastilah berasal dari keluarga berada. Sampai kemudian ia mengatakan bahwa ibunya adalah dokter bedah dan ayahnya seorang pengacara. Kelihatannya ia menyukai caraku memperlakukannya. Semua pertanyaanku dijawab seperti laiknya seorang teman.

Aku mengantarnya ke kamar saat matahari menanjak naik. Ia kelihatan lebih santai dan banyak tersenyum sambil mengangkat tangan pada teman yang ditemuinya di koridor untuk menyapa.

Sore harinya ia berteriak-teriak memanggil namaku. Aku tersengal sampai ke kamarnya sambil menyeka pelipis yang berkeringat. “Tolong pilihkan baju untuk konserku nanti malam”, senyumnya lebar. Konser, demikian ia menyebutnya. Telunjukku mengarah pada terusan merah gemerlapnya, memangnya dia punya berapa baju, gumamku sendirian. Sasa tak mau rambut pendeknya, ia membencinya sambil menjambak-jambak ujungnya. Ia juga menginginkan sepatu merah dan silver untuk konsernya. Kukatakan nanti akan disediakan. Kami harus menelepon ibunya dulu. “Pilihanmu bagus, Masita. Ini akan menjadi konser yang menakjubkan karena aku akan menyanyikan lagu baru”, wajahnya antusias.

Tak lama kemudian ia sudah menghambur ke tengah lapangan dengan baju merah, sandal jepit dan rambut pendeknya. “Konser Sasa akan segera dimulai”, lengkingnya. Tak lama para penghuni bangsal menghambur keluar dan tertawa senang. Aku berdiri di tepi koridor yang memisahkannya dengan lapangan luas.

Benar saja, Sasa menari lebih lincah dari biasanya. Liukan tubuhnya seperti naga putih. Beberapa lagu ia nyanyikan, termasuk lagu yang dikatakannya baru. Belajar darimana dia. Semua penonton ikut bergoyang, Sasa menari di atas meja yang memang disiapkan untuknya. Malam menanjak naik, ia seperti tak kehabisan tenaga. Terus dan terus saja menyanyi sambil menari. Tak ada musik, semua terhipnotis dengan suara dan tubuhnya. Tiba-tiba ia berhenti dan duduk di tepi meja, “aku capek”, ujarnya. Penonton serentak protes, “Huuuuu.. Bagaimana sih”. “Nggak seru!”. Lapangan sepi, tersisa satu orang, Banua namanya. Kulihat mereka sering bercakap-cakap dan cukup akrab.

“Jadi, darimana kau belajar lagu baru itu Sasa?”.

“Itu lagu lama sih sebenarnya, cuma aku nyanyikan di panggung besar dulu”, jawabnya sambil mengayunkan kaki ke kanan kiri. Kusodorkan segelas teh hangat dan kudapan dalam piring kecil. Kami mengobrol sampai malam. Aku tak menyangka bahwa ia bisa masuk rumah sakit jiwa ini. Ia paling waras diantara yang lain. Semenjak perkenalan kami tak pernah sedikitpun mengamuk atau mengacungkan gagang sapu sambil melotot. Tangannya bergerak kesana kemari ketika bicara, tertawa riang dan sesekali menatapku. Manalah mungkin ia gila, Sasa cuma terjebak dengan masa lalunya.

“Jangan-jangan dia jatuh cinta sama bu dokter”, ujar Nani, perawat senior yang kuceritakan kondisi Sasa.

“Ah kamu ini”, aku berlalu setelah mengambil stetoskop.

*

“Aku adalah dua di dalam satu”, suaranya seperti tercekat di kerongkongan. Kemudian matanya memerah, menyusul hidungnya dan setitik air mata jatuh. Kuusap bahunya perlahan.

“Pada saat ini adalah kematianku yang kedua, Masita”, lanjutnya sedih.

Aku menarik napas panjang, kita tak pernah dapat memilih dua. Masyarakat tak pernah menerima dua pilihan. Kukatakan hal itu padanya perlahan, aku takut ia bertambah sedih. Hilang sudah binar di matanya tempo hari, kupeluk bahunya. Kami saling diam, hanya desau daun akasia bergesekan dengan daun lainnya. Disaat seperti ini Sasa tak boleh sendirian, kepala rumah sakit mengingatkanku berkali-kali. Lubang hitam dalam kepalanya bisa memuntahkan isinya yang busuk sewaktu-waktu. Hanya Sasa yang memiliki dokter pribadi yang mengikutinya, penghuni lain dibiarkan sendirian atau berkumpul dengan sesama temannya. Sasa yang penyendiri, ia hanya berteman dengan Banua dan aku.

Seorang wanita separuh baya dengan wajah keibuan duduk menunggu di tepi ranjang ketika aku mengantarnya ke kamar. Kuperkenalkan diri, ia lega mengatakan bahwa Sasa kini didampingi. Sebuah kantong plastik berisi wig berambut panjang, dua pasang sepatu dan dua set baju diberikannya padanya. Mata Sasa berbinar-binar menatap isinya. Ia menuju lemari di sudut ruangan kemudian mengambil tas kecil yang berisi lipstick, bedak dan pemerah pipi. Ia mencoba satu persatu barang-barang barunya kemudian bercermin sambil memutar tubuhnya. Kami tersenyum menyaksikan wajahnya yang sumringah, berbeda dari setengah jam yang lalu.

*

Pagi ini tak kujumpai ia di kamarnya, di toilet pun kosong, begitu juga di bangku taman kesukaannya. Aku mulai panik, bertanya pada para perawat, dokter, semua mengangkat bahu. Seorang penghuni rumah sakit bernama Seno memberitahu sambil tertawa berderai-derai bahwa Sasa ada di kamar Banua. Di sini orang bisa saja mengatakan hal yang serius sambil tertawa riang, atau sebaliknya.

Kutarik napas lega, Sasa sedang duduk bercengkrama dengan Banua. Ia terlihat lebih rapi, rambutnya disisir ke belakang dan samar tercium wangi sabun mandi. Mereka tersenyum melihatku datang. Kukatakan hari ini absen menemaninya, akan ada kepala perawat yang bertugas menggantikanku.

 “Kau hendak kemana, Masita?”.

“Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan di luar rumah sakit, besok aku sudah kembali kok”. Matanya mengikutiku melangkah keluar, bias kecewa sedikit terlihat di wajahnya.

*

Pagi hujan rintik-rintik, Pak Parmin buru-buru mengangkat plastik penutup becaknya dan aku turun sambil menaungi kepala dengan tas hitam. Kusodorkan uang dua puluh ribu rupiah, ia bergegas mengambil kembalian dari dompet hitamnya yang lusuh dan kempes. Beberapa lembar lima ribuan terselip, diberikannya dua padaku. Kuberikan bungkusan hitam berisi brownies cokelat, “ini untuk Budi ya, Pak”. Ia tersenyum, mengucapkan terima kasih sambil menganggukkan kepalanya.

Rumah sakit sepi, pasti mereka sedang berkumpul di ruang makan untuk sarapan pagi. Langkahku bergema di koridor depan. Kabut masih sedikit menggantung di udara, kurapatkan jaket sambil menggidikkan bahu kedinginan.

Di kanan koridor ramai berkumpul para perawat berbaju putih dan orang-orang berpiama, menyusul kemudian dokter yang tergopoh membawa kotak obat dan stetoskop yang menggantung dibawa derap kaki memburu. Semua menuju ke … kamar Sasa. Kutinggalkan tas besarku dan berlari sekencang-kencangnya. Pintu kamar itu dikerumuni banyak orang, sulit menyeruak diantaranya. Mulutku setengah ternganga melihat seseorang bersimbah darah di lantai. Celana piamanya berlumuran darah, menyusul kemudian lengan kirinya juga. Sebuah pisau dan silet tergeletak di kiri kanannya. Wajah Sasa membiru dan bisu. “Ia melihatmu dijemput laki-laki kemarin”, Banua mengejutkanku dengan suaranya. Selembar kertas kutemukan di pinggir lemari, lusuh dan banyak bercak seperti terkena tetesan air.

Masita, kau bilang masyarakat tak menerima dua. Mereka mau satu. Maka inilah aku, aku memilih untuk menjadi Sasa. Bukan Sasana.

 “Sasana memilih menjadi Sasa. Oleh sebab itu ia memotong kelaminnya sendiri dan pergi menjadi Sasa selamanya. Dengan menjadi Sasa, ia tak perlu menyukaimu Masita”, Banua melanjutkan bicaranya dengan pelan.

 

– Terinspirasi oleh novel Okky Madasari berjudul Pasung Jiwa- 

Nyawang Jumat, Mei 24 2013 


Aku terbangun dan langsung menyingkap selimut putih yang menutup dada.
“Kau tidak bekerja?”.
“Lima menit lagi aku bangun”, jawabnya malas.

Matahari mengintip dari buku-buku jendela dengan tirai sedikit terbuka. Sebuah blouse berwarna turqouise tersampir, berturut-turut barang lainnya tergeletak di kursi. Tak jauh, sebuah kemeja abu-abu diletakkan dengan sembarangan. “Di mobil ada kemeja lain, Sayang. Tak usah khawatir”, tangannya mulai meremas pinggul, mengelus perlahan dan bibirnya mencari leherku sambil terpejam. Aku menggeliat. Tolakan halus itu tak berhasil, jemarinya terus menjelajah, merayu tanpa bicara. Aku menyerah, kami memulai pagi dengan basah dan tinggi.

“Nanti malam kita bertemu lagi?”, tanyanya sambil memeluk.

“Aku ada janji dengan pembeli”.

Wajahnya sedikit memberengut. Kupeluk ia dari belakang dan menciumi tubuhnya yang wangi parfum dengan aroma bergamot. Ia berbalik, menangkap kedua tanganku dan membawa ke belakang tubuhnya. Kami berpelukan. Hening diantaranya, hanya napas pelan dan teratur. “Aku mencintaimu”, ia melepas dekapannya dan mengambil tas kerja di sudut setelah menggulung kemeja hingga siku.

Ia berlalu dari pandangan, menyisakan wangi parfum yang tertinggal di ruangan dan kepalaku. Langkahku bergerak menuju toilet, menutup tirai tipisnya dan mulai menyalakan shower.

***

Berkeliling pandanganku di restoran dengan arsitektur Jawa ini, mencari-cari sosok perempuan yang sedianya telah menghubungi berkali-kali.
“Mbak sudah sampai mana?”, sebuah suara di telepon genggam terdengar empuk.

“Saya sudah sampai, Mbak”.

Kami bertemu muka pada akhirnya, ia memilih tempat duduk di samping taman dengan pancuran yang terbuat dari bambu. Berjungkat-jungkit ketika kosong kemudian menumpahkan airnya jika sudah penuh. Beberapa ekor ikan koi berenang ke sana kemari, pada pinggir kolam yang ditumbuhi pegagan air, beberapa bunga warna-warni begitu cantik dipandang. Kursi-kursi empuk dengan ukiran rumit tak begitu dipenuhi orang-orang, beberapa diantaranya bercakap dalam suara kecil dan rapi.

Wanita di depanku terlihat sederhana dengan rambut yang diangkat ke atas. Sepasang giwang terpasung di telinganya yang kecil dengan beberapa anak rambut menjuntai manis. Mata cokelatnya dinaungi alis rapi dengan lengkungan sempurna. Bicaranya pun tertata apik. Ia banyak bercerita tentang kebahagiaan dalam hidupnya. Memiliki dua anak dan suami yang berprofesi sebagai direktur perusahaan kayu lapis. Ruko yang akan dibelinya dariku sedianya akan digunakan untuk usaha salon agar dirinya memiliki kesibukan lain. Sebentar kemudian bibirnya bergerak mengucap maaf memohon izin untuk mengangkat telepon genggamnya.

Dua puluh menit kemudian dua anak kecil menghambur masuk lewat pintu restoran sambil berlari. Tas punggungnya yang besar gaduh oleh suara benda di dalamnya yang ikut berguncang-guncang. Mereka bergelayut di kiri kanan kursi klien di depanku, berebut cerita tentang yang dilihat di jalan.

“Panji, Adila, kenalan dulu nih sama teman Mama. Namanya Tante Ratna”.

Aku tersenyum. Dua seringai lebar dengan gigi susu mengucapkan salam secara bersamaan. Kemudian mereka sibuk memilih menu, kembali bercerita sambil tertawa riang menunggu makanan datang. Si bungsu memamerkan hasil gambarnya di sekolah, sang kakak menimpali bahwa awan yang diwarnainya terlalu biru. Mereka terus bercakap-cakap sampai datang sosok lain.

Seandainya saja semua kebahagiaan itu milikku, Mas. Jika saja aku bukan daun yang mengharap angin bertiup untuk sekadar tahu bahwa engkau ada dan menghidupiku. Kita bertemu memang bukan untuk berpisah, tapi bersama sampai mati adalah tak mungkin. Sesak dadaku terus berandai-andai jika saja perempuan di depanku ini adalah aku. Sementara wangi parfum aroma bergamot dan lengan kemeja yang digulung hingga siku menjadi pemandangan yang terus kusaksikan di depan mata, aku tahu pandangan matamu telah menancap hingga ke ulu hatiku. Sampai bertemu nanti malam, Mas. Kau harus datang sendiri, tanpa anak dan istrimu.

-Pondok Indah, 24 Mei 2013

Ega, Fika, Salsa Senin, Apr 26 2010 


Pada akhirnya saya harus mengakui bahwa mencintai anak-anak jauh lebih menyenangkan. Tadinya, saya antipati. Berisik, apalagi kalau sedang menangis. Setelah mengambil tugas akhir kuliah yang mesti berkutat dengan anak-anak, pelan-pelan saya justru berbalik arah. Mencintai mereka seperti melihat dunia sangat luas. Sangat menyenangkan. Jadilah saya yang bersepatu keds, jeans dan berkaos wara-wiri bersama anak kecil. Tentu saja bukan anak sendiri, anak tetangga hehehe. Semua anak kecil sekitar rumah,dekat dengan saya. Setiap Jumat malam, beramai-ramai mereka ke rumah dan menanyakan kapan saya pulang (FYI, saya memilih kos dekat kantor dan hanya pulang saat weekend tiba). Besok paginya, dipastikan mereka sudah berisik di depan kamar dan sengaja bercakap-cakap dengan suara keras. Tujuannya, sengaja membangunkan saya tentunya.

Walau bukan anak sendiri, saya senang memanjakan mereka. Membeli beberapa buku cerita bergambar untuk yang baru belajar membaca, crayon untuk yang senang menggambar. Sekali waktu saya mondar-mandir di toko batik di Jogja, sibuk pilah-pilih kemeja batik untuk anak seusia lima tahun. Agak membingungkan, karena tak ada anak seusianya untuk sekedar “ngepasin”. Apalagi sudah malam.

Setiap sore atau pagi hari, mereka minta ditemani bersepeda keliling komplek. Atau cuma ngobrol berjam-jam sambil dipangku dan bercerita kegiatan sehari-hari. Anak-anak, sangat senang didengarkan. Celotehan-celotehan berisik mereka terkadang bikin saya terpingkal. Kalau yang sedang belajar membaca, biasanya minta diajari sampai pegal leher. Heran, anak seusia mereka sulit diberitahu kalau membaca jangan terlalu dekat. Jalan-jalan ke mall pun, dipastikan bikin kelimpungan. Mereka sangat senang melihat isi mall. Berlarian ke sana kemari bikin orang bingung. Ckckckck..anak jaman sekarang. Untuk yang perempuan, mereka lebih tenang dan penurut. Tapi banyak maunya! hahaha.

Sekarang menemani berenang, sementara saya sibuk kirim email dan blog di sore yang cukup menyenangkan ini. Berenang selama empat jam! Bayangkan selegam apa saya jadinya nanti. Setelah berenang, mereka minta ditemani ke mall. Boleh sih de’…tapi nanti dicariin mamah kalian kalau pulang jam 9 malam. Dasar anak-anak…. riang dan menyenangkan.

Teman Empat Musim Jumat, Apr 9 2010 


” Doakan satu saat nanti aku menemukan seorang suami yang tidak saja mencintaiku, tapi juga bijaksana. Aku ingin pria itu mengerti jika Ibu tinggal bersamaku dan bersamanya. Aku tidak ingin menitipkan Ibuku di panti jompo, ungkapnya. Tahun itu usia Marites 45 tahun”. (Mimpi Segi Empat Marites dalam Teman Empat Musim:186)

Secara keseluruhan novel ini memang seperti vignet. Terdiri dari beberapa kumpulan cerita pendek, terkesan berantakan, feminis, lembut dan mengalir begitu saja. Penulisnya seakan tak peduli dengan pembaca awam seperti saya, ia terus mengajak pembeli bukunya membaca hingga halaman terakhir. Di sini saya diajak berkenalan dengan culture yang berbeda karena di tiap segmennya Ida Ahdiah menghadiahi pembacanya dengan setting yang berbeda-beda.

Terbagi menjadi 26 cerpen, semua membahas perempuan. Kebanyakan bercerita tentang wanita yang mengungsi ke negara lain. Dengan berbagai alasan diantaranya ingin hidup lebih baik, bencana, perang saudara yang menyebabkan trauma berkepanjangan sehingga harus berjuang melawan trauma sendirian tanpa suami. Misalnya saja Laetitia yang mengungsi dari negaranya akibat peristiwa Genosida di Rwanda. Ia pernah diperkosa beramai-ramai secara bergantian sampai pingsan berhari-hari. Setelah siuman hampir dirinya tak bisa bangkit dan memilih beringsut mengambil benda yang dapat mengakhiri hidupnya. Pada saat itu anak-anaknya menghampiri dan menangis meminta makan. Miris. Selama bertahun-tahun pula ia mencoba sembuh dari trauma berkepanjangannya. Sesekali ia masih menangis di kebun tomatnya.

Lain lagi dengan Daniella yang modis, memilih mengungsi dari negaranya Filiphina. Semua barang-barangnya mahal, bagus dan tentu bermerk. Jangan kira ia dapat semua barang itu dari pekerjaannya sebagai housekeeper hotel kecil. Ia dapatkan dengan cara, ehemm..sedikit agak curang..tapi menguntungkan.. Bayangkan, ia akan membeli semua barang mahal itu sebulan sekali dengan cara menggesek kartu kreditnya, membayar kontan atau dengan ATM. Setelah digunakan, Daniella yang cantik ini akan kembali ke toko dan mengembalikan semua barang-barang yang sudah digunakannya. “Aku tidak melawan hukum, lho..”. Memang tidak melawan hukum karena barang yang sudah dibeli jika tidak cocok bisa dikembalikan, dan itu ada dalam Undang-undang konsumen.

241 halaman, dengan cover cukup atraktif, judulnya tidak sebesar novel “itu”, beberapa bunga bertebaran pada gambar covernya. Sangat perempuan. Di tiap cerpennya ida Ahdiah selalu menyelesaikan ceritanya. Tidak ada yang dibiarkan menggantung dan di serahkan pembaca. Cukup disarankan membacanya, agar terbuka mata ini. Paling tidak kita “cukup” berpengalaman tanpa harus mengalami sendiri kejadiannya.

ketika kata “maaf” dipermainkan.. Selasa, Apr 6 2010 


Berulangkali saya mencoba menjadi orang yang benar-benar pemaaf, sampai pada suatu tahap saya lelah. Tidak bisa. Kemudian saya putuskan menjadi orang yang berpura-pura pemaaf. Somebody said, berpura-puralah menjadi baik karena suatu hari nanti kamu akan lupa kalau selama ini berpura-pura baik. Berhasil ternyata, sebesar apapun kesalahan, diam-diam di dalam hati saya selalu ada kata maaf. Selalu berpikiran, mungkin dia cuma tidak tahu cara bersikap, atau mungkin dia cuma khilaf, besok tentu akan baik seperti sediakala. Tanpa diminta, maaf itu sebenarnya selalu tersimpan di hati. Entah berapa jumlahnya, tapi saya seolah bisa melupakan perbuatan atau ucapannya dan kembali bersikap biasa setelahnya.

Tapi, ketika kata “maaf” dipermainkan apa jadinya gudang maaf di hati?. Duh Gusti, saya cuma manusia biasa. Kesalahan itu sudah tidak terhitung, tiga, empat, lima kali mungkin. Saya lupa sama sekali. Dan biasanya, kata-kata maaf meluncur dari mulutnya dan voila..saya akan mengucap, “sudahlah, tak apa-apa”.

Tidak memaafkan berarti saya kembali mendidik diri menjadi tidak baik dan pendendam. Hasilnya terkadang saya menjadi miris dengan diri sendiri. Bodohkah saya memaafkannya dengan mudah, semudah kesalahan itu dibuat. Dan kembali tersenyum manis di depannya seolah tak pernah terjadi sesuatu. Bodohkan juga saya jika kembali memberinya maaf dan hati ini….

So soon goodbye.. Selasa, Mar 30 2010 


Belakangan saya menyukai sepenggal lirik The Corrs,… so soon goodbye you stole my heart…Perjumpaan yang singkat namun mampu mencuri hati. Eh tunggu kenapa jadi mellow begini ya. Absolutely blog saya, mau ditulis apapun tentu terserah saya bukan.

Kalau membicarakan perpisahan, selalu ada kenangan mengambang. Entah kenangan indah atau justru yang membuat buliran cairan asin keluar dari sudut mata. Di sini saya pernah memiliki cinta, dengan lawan jenis, dengan teman atau sahabat. Teman saya bilang, kenangan buruk jangan pernah dilupakan karena dia pernah menjadi bagian hidup.

Tidur malam lagi.. Sabtu, Mar 13 2010 


Beberapa hari belakangan ini saya kembali tidur larut malam. Asyik mengetik sendirian hingga tengah malam diiringi mp3 bajakan dari laptop saya. Barangkali ini satu-satunya barang yang sangat setia menemani ke manapun, dari mulai mojok di kafe berjam-jam sampai menemani hampir pagi. Hmfff..banyak sekali kejadian di minggu ini. Seminggu, ya seminggu saya tidak bekerja. Ambil cuti panjang sebelum berlalu ke next journey. Hampir tidak sabar rasanya.

Saya banyak berdamai dengan hati, perasaan, waktu dan situasi sekarang ini. Banyak yang berubah juga setahun belakangan ini. Selain lebih perempuan, saya juga ‘berusaha’ lebih banyak tersenyum. Apapun kesulitan yang saya hadapi rasanya akan lebih mudah dengan tersenyum. Klise memang, terkesan normatif. Tapi cermin berbentuk kura-kura yang saya bawa ke mana-mana, cermin yang juga ada di samping monitor meja kerja, cermin di kamar kost, cermin di rumah, di mal, di toilet seakan mengatakan betapa jeleknya muka saya ketika cemberut karena memikirkan banyak hal. Betapa jeleknya juga muka saya pasca menangis karena saya kesal, bingung atau marah. Selain mata besar yang gampang bengkak juga hidung memerah. Ah, pokoknya sangat tidak cantik. Ketika buliran air mata mengalir bersamaan dengan ingus di hidung, membuat perempuan manapun, secantik apapun tidak akan terlihat cantik. Jadi intinya, sebenarnya saya takut tidak cantik atau takut menangis? Hahaha….

Kejadian aneh juga banyak mampir di hari-hari saya belakangan ini. Selain ada tetangga yang mencoba melakukan bunuh diri. Gosh, saya pikir itu cuma ada di sinetron atau buku yang saya baca. Ini real dan benar-benar terjadi. Sebut saja Tante Ri. Ia cantik, seumuran Emak saya, memiliki usaha salon kecantikan di bilangan (saya lupa di mana, tapi konon langganannya adalah artis terkenal). Yang saya ingat ia punya tindikan di hidung, berkulit putih dan sekampung dengan Emak. Nah karena kesamaan letak geografis itulah terkadang mereka curhat-curhatan (padahal apa hubungan letak geografis dengan curhat ya?). Kurang lebih dua bulan yang lalu, saat weekend Tante Ri bertandang ke rumah. Wajah putihnya yang tanpa make-up sangat pucat.  Dan ia banyak menatap saya sore itu, mungkin karena terakhir saya bertemu dengannya waktu masih SMA, ia tidak banyak mengenali kecuali Emak mengatakan kalau saya anak gadis satu-satunya, ia baru ngeh. Setelah mencium tangannya dan sedikit menanyakan kabarnya saya pergi berlalu karena ada janji dengan salah satu gank SMA. Kabar ter- update baru saya tahu selepas janji dengan teman terpenuhi. Emak bilang Tante Ri baru beberapa minggu lalu melahirkan bayi perempuan dari suami barunya, usaha salonnya yang di bilangan (saya masih tetap lupa namanya) sudah tutup, ia juga meminta saya menjadi model lomba make-up yang diadakan majalah perkawinan (untuk yang ini saya bingung kenapa bisa-bisanya memilih saya menjadi modelnya).

Dan kemarin..Tante Ri mencoba bunuh diri dengan meminum racun seranggga. Awalnya saya (yang lagi-lagi akan beranjak pergi) dan Emak melihat pembantu Tante Ri tergopoh-gopoh dengan wajah sedikit khawatir. Pak RW yang sedang menyalakan motornya terbengong-bengong dan akhirnya kami mendapat kabar kalau Tante Ri sakit. Emak langsung beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke rumah Tante Ri. Dengan tergopoh-gopoh juga.

Satu jam kemudian Emak datang dan daster bunga-bunganya berbau tajam racun serangga. “Tante Ri mau bunuh diri!” Emak langsung memberi kabar. Saya terhenyak, ada apa gerangan dengan dirinya sampai memutuskan bunuh diri. Dan Tante cantik itu untungnya masih tertolong karena pembantunya yang berjumlah tiga orang ternyata memergokinya. Walau ia sempat menyorongkan belati tajam ke salah satu pembantu laki-lakinya Tuhan masih menginginkan ia hidup.

Sayangnya Tante Ri tidak bersedia di bawa ke rumah sakit untuk membuang racun itu dari perutnya. Ia memilih di rumah, walau sudah disuapi susu dan kelapa hijau ia tak kunjung memuntahkan cairan yang berasal dari kaleng hijau itu. Waktu itu tanpa sadar mulut saya komat-kamit berdoa. Tuhan, jangan ambil dulu nyawanya dengan cara seperti ini. Dan hari ini, ia masih hidup dan kabar dari Emak mengatakan ia sudah “nyupir” sendiri. Syukurlah.

Kabar lain, saya bolos latihan lagi. Malas bertemu dengan asisten shensei yang berbadan lebar dan pongah itu. Bayangkan, ia menghardik!. Bukan hanya kepada saya tapi juga pada anak-anak lainnya. Tidak sepantasnya padahal karena beladiri yang saya pelajari mengutamakan kerendahan hati. Jadi, daripada menggerutu melihat wajah tidak cantik akibat kepongahannya saya memilih lurus, belok kiri, ke kanan dan berlabuh di tempat yang menjadi rekreasi warga Jakarta. Apalagi namanya kalau bukan mal. Putar-putar berjam-jam dengan sepatu butut yang sudah 6 tahun menjadi teman baik saya ke mana-mana (tapi terakhir saya cuci 2 tahun yang lalu..see betapa cueknya saya). Tapi cukup nyaman dibanding sahabat saya yang masih berhigh-heels. Ketika saya tanya dia cuma bilang, “nggak kok, ini nyaman banget”. Saya tergelak, dasar perempuan…asli tidak asli yang penting cantik. Sakit tidak sakit yang penting cantik. Setelah berjam-jam kami cuma window shopping dan banyak komentar seputar pekerjaan, trend pakaian, flat shoes, high heels, sampai mengomentari laki-laki yang sedang menunggui gadisnya memilih sepatu karena anting di telinganya agak kebesaran dan ia lebih cocok dengan yang anting tusuk saja supaya terlihat agak macho dan tidak terlihat seperti bencong. Hahaha..kami tergelak. Akhirnya kami pulang. Pulang kali ini, saya yang gantian membawa kendaraannya. Di tengah jalan saya berujar, “Tengkiu ya, lo udah bikin gw ketawa dan seneng hari ini”. Sahabat saya tersenyum dan dan dia memberi judul hari ini, “Sehari bersama Nita”.

Bidadari-Bidadari Surga Sabtu, Mar 6 2010 


 

Dengarlah kabar bahagia ini,

Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh atau bahkan lebih dari itu, tapi belum juga menikah. Mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah terpilih di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah. Yakinlah, wanita-wanita salehah yang sendiri namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga cantiknya luar biasa.

Itulah sepenggal epilog dari novel “Bidadari-bidadari Surga”. Novel  perjuangan seorang “kakak” yang sangat mencintai adik-adiknya. Laisha demikian namanya. Nama yang indah. Ia memang sangat indah walau fisiknya jauh dikatakan indah. Tapi buat saya pribadi keadaan fisik yang tidak sempurna akan menjadi begitu sempurna tatkala seseorang dengan sangat sabar mengorbankan semua yang dia miliki. Laisha meninggal di usia 43 tahun, masih dalam keadaan belum menikah dan tidak pernah tersentuh laki-laki. Meninggal dengan tenang terkena kanker paru-paru stadium IV.

Hati saya bukan hanya gerimis membacanya, karya Tere-Liye yang baru pertama saya baca ini sangat indah. Sangat nyata. Laisha memiliki empat adik. Dalimunte, Ikanuri, Wibisana dan Yashinta. Mereka bukan keluarga kaya. Mamak Lainuri harus bekerja keras supaya anak-anaknya bisa terus sekolah. Karena keterbatasan yang dimiliki keluarga itu, Laisha memilih tidak meneruskan sekolahnya demi melihat adik-adiknya sekolah.Syukurlah pengorbanan Kak Lais tidak sia-sia. Dalimunte, anak sulung yang pandai. Ikanuri dan Wibisana,dua sigung yang nakal. Yashinta, bungsu cantik yang mandiri. Semua tumbuh menjadi orang baik dan sukses.

Berulangkali Lais dijodohkan, namun nasib atau bahkan takdir tidak berpihak padanya. Di kampung itu sangat tabu yang namanya melintas, atau dalam bahasa Jawanya “ngelangkah”. Tapi siapa yang pernah meminta kalau tidak ada satu pun yang mendekat? Siapa yang menginginkan kalau ternyata orang yang dijodohkan ternyata tidak menyukai karena

Sudesi Sabtu, Mar 6 2010 


Kehidupan dalam perkawinan bukan hanya indah, bukan hanya agung tapi juga mulia. Keindahan bisa berubah karena gairah bisa berkurang dan bisa bertambah. Keagungan bisa sementara teraling mendung. Namun kemuliaan tetap ada, tetap sama, selamanya. Sebab kemuliaan adalah ketika kita menunjukkan bahwa kita layak mencintai dan dicintai, seabagai sesama manusia. Kemuliaan adalah memuliakan kuasaNya (Sudesi:447).

Terus terang ini kali pertama saya membaca karya Arswendo Atmowiloto. Ketika pertama kali melihat di toko buku, wujudnya memang menarik perhatian dengan cover berwarna putih dengan judul besar dan nama pengarang yang tak kalah besar. Narsis.Masih saya ingat dengan jelas gumaman saya kala itu. Toh buku itu tetap saya beli juga. Mambacanya, hampir 3 minggu! Sebuah waktu yang lama. Saya baca ketika senggang di waktu padatnya pekerjaan, antri di ATM, sarapan pagi di dining room kantor, makan siang, atau di mana saja dengan membaca barang satu atau dua halaman.

Tulisan sebanyak 474 halaman ini sangat sarat dengan tokoh. Terbagi menjadi beberapa segmen cerita dengan isi yang berbeda-beda. Tiga perempat bagian buku ini sangat membosankan. Dibawa berkeliling oleh pengarang ke mana-mana tanpa fokus yang jelas dan apa yang sebenarnya yang mau dibahas selain kehidupan sang tokoh, ada yang glamour, setengah glamour. Tidak ada yang miskin di sini walaupun ada cerita bersetting penjara. Penjelasan berulang kali disampaikan bahwa sebenarnya laki-laki sukses dengan perempuan di baliknya. Ah lagi-lagi saya membaca buku sesuai dengan gender. Tidak sengaja, tapi mungkin menambah khasanah saya memandang hidup.

Sudesi, singkatan Sukses Dengan Satu Istri. Sub judul atau menerangkan yang diterangkan tertera di cover buku ini. Berbentuk bulat seperti chop. Tidak penting sebenarnya. Tanpa “chop” ini seharusnya menambah keingintahuan calon pembeli untuk mengetahui jauh lebih dalam isinya. Ehem, kalau memandang dari segi materi, yang pasti tidak lepas dari kepala si pengarang selain idelalisme menulis itu sendiri. 

Seperti yang dibilang tadi, buku ini kebanyakan tokoh. Ada Erwin, Meiti, Jati Sukmono, Abdul Ghani, Ina, Paulina, Asri Sukmono, Agus Langgeng, Leila, Bambang, Uum dan sederet lainnya. Yang sebenarnya di seperempat buku ini akhirnnya sedikit nyambung. Cuma sedikit dan ending yang dipaksakan happy. Seperti kebanyakan novel lain, dibuat happy ending supaya tidak bikin mangkel hati yang membaca. Intinya sih cuma satu, setia dengan istri itu tidak ada ruginya. Gender lagi! Hahaha..Tapi memang ada benarnya. Bahwa laki-laki memang makhluk yang harus dipahami dengan baik. Laki-laki bilang, kami ini para perempuan, makhluk misterius dan harus dipahami betul-betul. Ah, kami juga menggangap kalian seperti itu hai laki-laki!

Buku ini sedikit banyak memberi banyak nasihat bahwa nantinya kami, perempuan-perempuan yang masih melajang ini (saya pasti akan tersenyum nantinya ketika membaca kalimat ini suatu hari nanti), harus mampu melayani suami dengan baik kelak. Mengabdi sepenuhnya dan sayang dengan anak. Secara garis besar,disini cerita yang dipaparkan tidak berat sebelah.Sama-sama imbang karena sisi keburukan perempuan diceritakan,begitu juga keburukan laki-laki dalam cerita ini diceritakan cukup banyak walau tidak mendetil. Kalau terlalu detil malah jangan-jangan tidak layak terbit.

Setia dengan satu pasangan, bukan berarti tetap beristri satu tapi bisa selingkuh kanan kiri. Sukses dengan satu istri tentunya benar-benar dengan satu istri tanpa ada selingkuhan. Memiliki satu dengan empat rasa berbeda, itu kata rekan sekantor saya tatkala ada email muncul di hari Jumat sebagai penyejuk iman dan penambah pengetahuan agama. Ya ya, kalian laki-laki memang sudah seharusnya punya istri satu saja. Satu dengan empat rasa berbeda sebagai  karunia dari Tuhan. Walaupun ujug-ujugnya ketika sedang berkumpul dengan sesama laki-laki yang dibicarakan pasti perempuan (ssstt..ini bocoran dari bos saya selepas makan siang, sekaligus obrolan ringan di ruangan berisi beberapa orang yang sedikit menasihati pentingnya perempuan di kehidupan mereka dan bagaimana merawat pemberian Tuhan supaya suami tidak “lari” atau melirik perempuan lain ).Iya pak, semoga berguna nantinya…

Dongeng Semusim Sabtu, Mar 6 2010 


 

 “Karena Hazelnut blueberry pancake adalah kesukaan suami saya” (dongeng semusim:251). Itu sepenggalan kalimat di novel yang saya baca beberapa jam. Sengaja membelinya, untuk mengimbangi novel lainnya yang cukup “berat”. Tergolong metropop, ringan dan sedikit mengena di hati. Sefryana Khairil, demikian nama pengarangnya. Bercerita tentang kehidupan sepasang suami istri yang baru menikah. Ternyata cinta saja tidak pernah cukup! Seperti banyak orang bilang, memang bisa hidup cuma makan cinta. Hmmm..

Membaca novel setebal 257 halaman ini sedikit menjawab keingintahuan saya tentang jodoh. Kata yang berulang kali saya pertanyakan dan tak ada yang mampu menjawab dengan baik. Pertanyaan kala itu adalah: jodoh itu apakah seperti bapak dan mamah saya yang menikah?, apakah kalau seandainya mereka tidak lagi terikat dalam pernikahan berarti tidak berjodoh lagi?, dan kalau seandainya menemukan orang lain lagi berarti memang tidak jodoh dengan yang lama dan berjodoh dengan yang baru?. Ternyata sekelumit jawaban itu adalah bahwa jodoh tidak diukur dari tepat atau tidaknya seseorang untuk kita sampai kematian memisahkan. Tapi justru seberapa lama kita bisa mempertahankan cinta. Semakin lama bisa bertahan dan melengkapi satu sama lain yang disertai dengan pengertian maka itulah “jodoh”. Hmm, membutuhkan pemahaman yang sangat cermat.

Dikisahkan Sarah yang menikah dengan Nabil. Dari awal bertemu hingga saat mereka memutuskan menikah semuanya terasa begitu indah. Setelah menikah Sarah merubah penampilannya dengan berjilbab, menginginkan anak karena rumah baru mereka sangat sepi, sangat perhatian dengan suaminya dan rela memasak sampai tengah malam supaya Nabil bisa makan makanan kesukaannya dan bangun di pagi hari menyiapkan sarapan. Tugas istri yang tidak pernah tertulis di UU Perkawinan. Tapi yang diterima Sarah justru sebaliknya,ketika ia begitu menginginkan seorang anak hadir di hidup mereka Tuhan mengabulkannya. Di saat seperti itu justru Nabil berubah 360 derajat.

Secara garis besar di novel ini menceritakan ketidaksiapan Nabil, sang suami, menghadapi kehidupan pernikahan. Baginya, Sarah terlalu baik, terlalu lembut untuk disakiti dan ia tak pernah tega melihatnya menangis. Kalau begitu, seharusnya ia tidak membuat Sarah terus menangis karena disaat ia mengandung bayi mereka Nabil meninggalkannya. Tanpa alasan jelas. Ia cuma tidak suka kenapa Sarah mengganti penampilannya, kenapa Sarah mengandung sekarang dan bukan nanti saja. Hingga ia tidak mampu menguasai diri dan pergi di saat Sarah membutuhkannya. Ketika membacanya, dunia khayal saya justru bergumam..kaya sinetron. Tapi saya masih terus membacanya sampai habis…dan berdoa, semoga Tuhan memberi saya sosok tidak seperti Nabil.

Sahabat Sabtu, Mar 6 2010 


Beberapa minggu ini saya agak risau!. Ada yang mengganggu dan dipikirkan. Awalnya kami sangat dekat, seperti layaknya sahabat-sahabat saya yang lain. Tapi setelah kami memutuskan pergi bersama ke arena permainan, dia berubah. Ah, sayang sekali. Mungkin karena kami perempuan, logika kalah dengan perasaan.Sedikit saja kesalahan bisa memicu kesimpulan yang salah. Saya, tak jarang memaklumi sahabat-sahabat yang lain soal sifat dan karakter. Saya selalu pikir, ah sudah lah memang dia begitu atau..dia pasti tidak menyadarinya. Semua serba maklum untuk sahabat, karena karakter orang sangat berbeda dan sangat sulit mengubahnya.

Saya memang tidak kehilangannya, tapi dia berubah. Segenap rasa bersalah menyelimuti. Merunut apa saja yang pernah saya ucap. Manusia salah memang jarang menyadari kesalahannya. Sahabat saya yang ini memang agak sensitif, saya bersalah karena kurang memahaminya. Putus dengan pacar masih bisa cari gantinya, tapi tidak dengan sahabat. Kata maaf berulang kali diucap dan dia pun mengucap hal yang sama. Sayang saya tidak bisa melihatnya langsung, pasti dimaafkan dan termaafkan. Saya yakin itu…

Loper Koran Rabu, Feb 17 2010 


Gadis itu keluar kamarnya, menuruni sembilan undakan, belok ke kanan dan berpamitan pada sang empunya rumah. Berbelok lagi ke kiri pasti ia akan berjumpa dengan bapak tua yang sedang menikmati kopi pekatnya sambil membaca koran, atau terkadang menyapu gang kecil itu atau juga membersihkan gulma di pot-pot tanamannya. Sang gadis pasti akan tersenyum dan berpamitan lagi. Tanpa peduli ia berpamitan dengan siapa sebenarnya.

Di ujung gang, seorang loper koran yang menyunggi korannya di kepala sedang bercanda dengan pemilik warung dan penjual bubur ayam. Pemilik bengkel sedang menggosok mobil pelanggannya. Penjual minuman ringan menunggui barang dagangannya. Kembali sang gadis tersenyum dan bergegas melewati kendaraan umum beroda tiga warna oren. Pagi yang ramai.

Beberapa menit ke depan ia sudah berdiri di pinggir jalan bersama sang loper koran. “Selamat pagii”, sang gadis menyapa. Sang loper koran tertawa memperlihatkan barisan giginya yang rapi dan agak besar. Mereka menyeberang jalanan besar itu bersama-sama, yang bergender laki-laki di depan. Seperti halnya kebanyakan.Setelah berjibaku dengan kendaraan yang melaju cukup kencang, sang gadis berterima kasih. “Iya sama-sama”, balasnya riang sembari  memperlihatkan barisan giginya.

Mereka berjalan bersama, satu tujuan. Bedanya cuma terletak di orientasinya. Sang gadis berjalan menuju kantornya, sang loper koran menjajakan dagangannya. Jika di akhir bulan sang gadis menghabiskan uangnya untuk bersenang-senang, sang loper koran membagi uangnya untuk berbagai keperluan. Anaknya yang masih sekolah di kampung, ibunya yang sakit-sakitan, istrinya yang terus mengatakan kalau uang belanja hariannya selalu kurang dan biaya hidupnya di Jakarta. Semua seberat sunggiannya di kepala yang membawa beraneka macam judul headline.

Sang gadis memilih berjalan lewat trotoar di depan apartemen sedangkan sang loper memilih berjalan di sisi jalan raya. Masing-masing memiliki maksudnya sendiri. Sementara gadis itu terus berjalan menunju kantornya, sang loper tersenyum riang karena ada yang membeli salah satu koran ber-headline tentang bahayanya situs jejaring sosial yang memperjualbelikan anak di bawah umur.

Sang gadis bertemu teman kuliahnya, matanya berbinar, tersenyum dan sedikit berbincang tentang reuni yang akan diselenggarakan akhir bulan. Setelahnya, ia sedikit berjingkat sambil berucap permisi pada penyapu jalan. Menarik tangan kanannya sambil memegangi dahinya karena kepanasan. Panas matahari pagi yang cerah. Namun tidak pernah secerah hatinya walau senyum selalu terkembang.

 

Nikah siri bisa dipenjara! Selasa, Feb 16 2010 


Berita yang menggelitik di Kompas hari ini, 16 Agustus 2010. Pelaku nikah siri bisa dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 3 bulan atau denda 5 juta rupiah. Setuju!. Pelaku nikah siri layak dipenjara, bukan karena menikahnya tetapi karena tidak memenuhi syarat administratif. Dari sisi moral pun, perempuan selalu dirugikan dengan adanya nikah siri. Ya karena itu tadi, karena tidak memenuhi syarat administratif. Secara agama,banyak orang berpendapat bahwa nikah siri adalah sah. Ijab kabul, mahar, saksi, penghulu, mungkin semua elemen itu ada. Secara administratif, buku nikah tidak ada. Ketika si laki-laki berulah, membuat kasus KDRT misalnya akan sulit mengadukan kepada yang berwajib. Atau si laki-laki ini sudah tidak cinta lagi misalnya, maka dengan mudah perempuan akan di talak tiga. Setelah itu, pernikahan pun terputus. Lagi-lagi perempuan akan ditinggalkan, dijadikan korban. Belum lagi misalnya ditambah dengan biaya hidup karena mengandung yang setelahnya tentu akan melahirkan. Anak adalah pelengkap kebahagiaan, bukan menjadi beban. Tapi perempuan mana yang mau ditinggalkan begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban secara materi.

Kabarnya Komnas Perempuan akan mendesak supaya RUU ini segera disahkan. Sangat terlambat memang, tapi daripada tidak sama sekali. Padahal kasus nikah siri sudah sangat marak beberapa tahun terakhir. Bahkan “gaya” pernikahan ini juga seakan dilegitimasi oleh public figure. Semua seakan menjadi abu-abu ketika mereka yang memerankan. Padahal sebagai perempuan, nikah siri (berulang kali saya tulis di sini) pastinya akan sangat merugikan perempuan. Dari berbagai segi, ditilik dari berbagai arah pun hasilnya akan tetap sama. Bahkan kalau boleh saya berpendapat, seakan melegitimasi nafsu belaka. Tapi entah, mudah-mudahan saya dan orang-orang tercinta di sekeliling saya tidak mengalaminya. Baik menjadi korban ataupun pelaku itu sendiri.

Sabtu ini Sabtu, Feb 13 2010 


Rintik hujan masih bergemerecik di atap, MP3 bajakan masih mengalun pelan. Saya menyeruput wedang jahe di atas meja sambil menahan nyeri di pergelangan kaki kiri. Terkilir, tapi harus dibebat tensocrap. Berlebihan kesannya karena besok pasti sembuh. Jangan tanya kenapa, saya memulai kegiatan positif dengan pikiran positif tentunya, AIKIDO. Satu setengah jam dibanting, putar kanan-kiri, back roll. Belum terbiasa, tambah pusing musti berputar-putar begitu. Ah biarlah, biar sibuk. Itu alasan ketika tadi pagi ditanya kenapa bergabung. Alasan yang aneh, karena saya lihat dahinya mengernyit sedikit.

Sedikit merayu ibu supaya membiarkan kain yang membebat kaki dibuang saja. Huff, tidak berhasil, mungkin takut anak satu-satunya ini kenapa-kenapa. Padahal sih, nanti malam saya nekat niat bulu tangkis, pagi jogging dan dilanjut akikido lagi. Bertemu dengan shin-sei (benarkah tulisannya?) nan sedikit galak.

Rabu, Des 30 2009 


“Neng, kamu bohong ya?”

“Ya om, kenapa?bohong apa ya?”

“Kemaren aku ketemu “dia” kok ditanya jawabnya masih, baik-baik aja malah”

“Hm, masa sih, udah 4 bulan lebih kok”

“Kamu kali yang bohong”.

“Nggak om, demi Tuhan ngapain pake bohong. Lagian buat apa ya dia ngomong gitu segala”.

“Ya mungkin dia gak mau kamu diambil orang”.

Saya tersenyum, berlalu sambil bergumam..bukan cuma status palsu, hati dan wajahnya juga mungkin palsu.

WAYANG Selasa, Des 29 2009 


Layar telepon genggam saya berkedip. April calling…hmm sahabat saya yang mau menikah di bulan Januari. “Halo, kenapa nek?”. “Da, lo diundang Wayang nikah gak?”. Saya terdiam dan sejenak berpikir, “hm, enggak tuh gw gak dapet undangannya , kata Kak jatni sih gw mau diundang. Tapi klo diundang pun gw gak akan dateng, males”  jawab saya sekenanya. Setelah sibuk berhai-hai dan basa-basi menanyakan persiapan menikahnya, saya tutup telepon dan menarik nafas.

Wayang, nama yang akrab di telinga. Tempo hari saya dengar dia akan menikah. Ajakan yang sama juga pernah mampir ke saya  kurang lebih setahun yang lalu. Ajakan yang saya tolak mentah-mentah. Saya tidak pernah mencintainya. Ironis memang, usia pacaran kami menginjak 2 tahun. Tapi ajakan untuk serius saya tanggapi dengan dingin. Bahkan ketika dia mati-matian berjuang untuk mempertahankan rasa yang dia miliki ketika saya sendiri memutuskan untuk mengakhiri saja.

Bahkan setelah saya memutuskan untuk tidak lagi menghubunginya dan benar-benar memutus tali silaturahmi dia masih menggunakan berbagai cara meneror dan membuat saya tidak nyaman. Dari mulai menunggu di kos sampai larut malam dan perang mulut dengan hebat di tempat tinggal yang notabene bukan milik saya.

Sekarang tentunya dia sudah bahagia dengan pasangannya. Hmm, tidak ada terbersit rasa iri atau apapun. Saya ikut bahagia. Bahagia karena bukan saya yang menjadi pasangannya. Hah, lagi-lagi pikiran yang aneh dan di luar kendali menguasai. Kalau gadis lain akan menangis karena ditinggal menikah mantan pacarnya, saya justru biasa saja. Jangan-jangan saya sudah tidak normal.Bukan, bukan itu saya rasa. Saya berpikir dari dulu semenjak rasa indah itu hilang, saya bersumpah tidak akan menikah dengannya. Sumpah yang saya ucapkan dalam hati dan berujung pada pemaksaan padanya agar melepas saya. Jadi, ketika saya dengar dia sudah dengan orang lain saya justru bahagia.

Selepas darinya saya kembali menata hidup. Tidak lagi sebulan sekali masuk ruang praktek dokter yang sekarang menjadi sahabat saya. Kembali berpikir positif dan tersenyum di pagi hari tentunya. Ya, saya ikut bahagia mendengar kamu menikah dengannya, bukan dengan saya.

Diam Sabtu, Nov 14 2009 


Aku terpekur dan terdiam mendengarnya…

Kau kusimpan di sini, di hati yang telah terpenjara oleh rasa

Rasa yang terlebih dahulu kau tanam dan tak bertanggung jawab kau tinggalkan

Atas nama perasaan yang kau tinggalkan ini, aku menangisi kebodohanku

Mengapa namamu tak kunjung menjadi kenangan atau bahkan terhapus saja sekalian

Agar aku lupa bahwa kau memang pernah hadir di sini…..bagian terdalam dari diri ini

 

Tiga bulan berlalu sayang, hati ini masih saja terpenjara oleh perasaan itu

Seandainya aku tahu bagaimana cara keluar dari penjara itu

 

Kediaman itu berubah menjadi air mata yang mengalir

Kudengar kau sudah bersama yang lain..

Entah benar atau tidak…

Aku menangis sekarang, entah sampai kapan..

Sosok lain berusaha menghapus air mataku sayang, …

Bolehkah dia hapus air mataku dan menggantikan sosokmu kini?

Bolehkah dia menemaniku berjalan di trotoar yang sama waktu kita berpisah?

Bolehkah dia menemaniku tertawa lagi?

Ah.. rasanya engkau tak kan pernah terganti

Dan aku di sini..menangis dalam diam

 

 

 

 

 

 

 

Kertas Kosong Minggu, Nov 8 2009 


Hey,kertas kosong yang sudah kubuang ke tempat sampah itu tak mungkin lagi kuambil.
Karena aku sendiri pun tak berniat mengambilnya!
Percuma..karena bentuknya pasti sudah tak beraturan.
Lagipula,apalagi yang mau kutulis?
Ah, biar saja kutatap punggung bapak tua itu membawa keranjang sampahku pergi,tak tau dia akan membawanya kemana.
Yang pasti,berkumpul juga dengan sampah lainnya.
Dan mungkin saatnya mencari kertas lain yang bisa kutulisi banyak hal yang istimewa.

Hey,lagi-lagi kertas itu sudah ada sebenarnya,cuma aku malas menulisnya..karena tak ada satupun kertas seperti yang sudah kubuang sebelumnya.
Lagi-lagi aku harus menulis,sayang kalau kertas ini kosong dan harus dibuang lagi ke tempat yang sama. Tapi siapa yang mengharuskan,tidak juga dia atau mereka..

Biar kutulis kapan-kapan saja…

Menuju Sembilan Selasa, Jul 2 2013 


Selamat malam, Rindu. Selamat menuju sembilan bulan, Nak. Itu angka kesukaan Bunda yang berarti sebentar lagi kita akan berjumpa, dapat meraba pipi halusmu, menggenggam jemarimu yang kecil-kecil dan sepuasnya menatap kaki mungil yang nantinya akan digunakan menapaki hidup.

Sehat-sehat selalu, Nak. Kita akan berjumpa tepat waktu sesuai dengan kehendakNya. Terima kasih setiap hari untuk hari yang begitu indah dan penuh penantian. Kita masih akan sering berbagi sampai genap saatnya nanti engkau menangis pertama kali dan setelahnya semua akan untukmu Sayang. Doa, harapan, senyum, suka dan segala yang menyenangkan.

Rindu sayang, seperti yang Bunda sering katakan kala kita hendak terlelap, jika tumbuh besar nanti jadilah yang mandiri dan cerdas. Seseorang akan dihargai karena kecerdasannya, bukan dari materi sebab ia akan lesap seperti asap yang diburu nafsu duniawi. Begitu juga dengan kemandirian, perempuan yang hebat adalah yang mandiri. Tak menggantungkan pada orang lain untuk sebuah pertolongan. Sudah Bunda contohkan padamu dengan sering kemana-mana berdua saja, sebab ayah tampanmu seringkali harus pulang malam. Kemudian beberapa waktu lalu sebelum kita memulai liburan di rumah, kau selalu membantu menemani bekerja. Mengurus pekerjaan dengan lingkup se-Indonesia, mengatasi begitu banyak masalah, tetap tenang dan tersenyum saat panik. Bunda selalu tahu, Nak bahwa kau jauh lebih kuat dari ibumu sendiri. Bukankah begitu seharusnya anak hebat itu?

Sampai jumpa di Agustus ya, Sayang. Cium jauh untukmu.

RS. Budhi Jaya, 2 Juli 2013

Kepercayaan Prematur Minggu, Jun 30 2013 


Ada begitu banyak hal yang harus kita percayai, mau tak mau. Saya menyebutnya kepercayaan yang prematur. Sebelumnya kita tak pernah mengalami, tapi kemudian kenyataan datang dan itulah yang harus dipercaya bahwa sesuatu itu memang telah terjadi kini.

Setiap kehilangan menyisakan duka. Kita tahu itu. Sebelumnya apakah kita pernah menyiapkan hati? Tidak ada yang menyiapkan diri untuk kehilangan sekecil apapun. Saya hanya perlu menjaga apa yang dipunyai kini. Salah satunya berusaha memiliki kemampuan untuk mencintai secara konstan. Biar saja ia tidak tersenyum untuk saya hari ini, yang penting senyum ini selalu untuknya. Biar saja ia tidak rindu tetapi saya merindukannya setiap waktu. Biar saja ia tidak mencintai saya terus-terusan, yang penting saya memiliki cinta yang besar untuknya setiap hari. Biar saja ia menjadi besar kepala karena diberi begitu banyak cinta, biar saja. Saya tak peduli dan tetap bahagia.

Saya meyakini betul, apa-apa yang tidak saya jaga kini akan menjadi sumber penyesalan di kemudian hari. Biar saja saya akan menjadi perempuan egois yaitu jika suatu saat nanti kami akan terlepas satu sama lain, saya bukanlah orang yang penuh sesal karena telah menyia-nyiakannya.

Depok, 30 Juni 2013

Kelopak Mawar Kuning yang Gugur Sabtu, Jun 29 2013 


Persahabatan kami terjalin selama kurang lebih tiga belas tahun lamanya. Dari tengah malam hingga detik ini saya menuliskan tentangnya, rasanya air mata enggan mengering. Anita Destriana, menanggung sakit selama beberapa bulan terakhir dan baru diketahui mengidap kanker kelenjar getah bening stadium empat.

Kami menyayangimu Anita sayang, masih teringat jelas senyum dan kata-kata yang hampir putus asa ia ceritakan waktu itu. Saat dirinya harus membawa bayi dalam rahim yang ternyata berusia tiga bulan tapi ternyata penyakit yang lain menggerogoti. Begitu kerasnya saya menghibur dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Saya begitu ingin menjenguknya kala itu, rela ke rumahnya di siang terik dengan kondisi sedang hamil tua karena ingin sekali memeluknya. Membawakan makanan yang ia inginkan agar ia bisa makan sedikit saja. “Ini sakit sekali”, katanya sambil mengelus pinggang. Siang itu kami tak tahu, bahwa kelenjar getah bening berkembang menjadi musuh utama tubuhnya.

Kami begitu dekat. Terutama karena saya masih berstatus baru akan memiliki momongan, sedangkan kedua sahabat yang lain sudah memilikinya lebih dulu. Ia menginginkan anak laki-laki. Keguguran pertamanya begitu ia sesali dan kerap bercerita bahwa anak itu sering berkunjung dalam mimpinya. Saya sering mengatakan untuk bersabar karena Tuhan maha baik sedang menyimpan dulu untuknya.

Pagi-pagi sekali saya dan sahabat yang lain bertangisan lewat telepon, meminta agar menyampaikan salam untuknya karena saya tak dapat pergi keluar rumah. Sepanjang malam mata saya terpicing sambil menangis, betapa saya mencintainya dan kelebatan-kelebatan masa lalu terus hadir. Bagaimana kami setiap hari pulang bersama saat Sekolah Menengah Atas. Kemudian memiliki bermimpi sekolah di universitas negeri bersama-sama. Bagaimana kami dulu memulai petualangan pertama tanpanya, menunggu di halte bis sangat lama karena ia berjanji akan datang sampai kemudian kami hanya pergi bertiga saja.

Dulu saya sering sekali menginap di kamarnya yang berwarna merah jambu dan ketiduran di tengah malam sambil mendengarkan ceritanya. Terakhir yang saya tahu, ia begitu tenggelam dalam banyak kesedihan. Dan saya baru menyadari, kesedihan mampu merenggut nyawa seseorang perlahan-lahan. Saya tak punya apa-apa untuk menghiburnya selama ini, hanya sepasang telinga, satu mulut dan rentangan tangan untuk memeluknya.

Kini ia pergi selamanya, hanya doa yang mampu memeluknya. Beristirahatlah dalam senyum dan damai wahai mawar kuning, kelopak yang kini berguguran tak pernah menampik keindahanmu yang lalu. Ia menetap dan bersemayam di hati orang-orang yang mencintainya.

Dengan cinta,

P-Betty
Sabtu 29 Juni 2013

Laman Berikutnya »